jika tulisannya tidak terlihat maka diblog atau dihitamkan saja
jangan lupa membaca catatan kaki makalah ini
jangan lupa membaca catatan kaki makalah ini
MATA KULIAH:
Ayat-Ayat Hukum Keluarga
Makalah:
Macam-Macam Masa ‘Iddah
DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD APRIL
JURUSAN HUKUM ISLAM
KONSENTRASI S3
HUKUM KELUARGA
PROGRAM PASCA
SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF
KASIM RIAU
PEKANBARU
2016
PENDAHULUAN
(jangan lupa baca catatan kakinya, penjelasan lebih terperinci di pojok paling bawah)
Rumah
tangga terbentuk karena adanya pernikahan dan di dalam penikahan itu sendiri haruslah
didasari adanya saling percaya antara suami-istri, agar tidak menimbulkan
masalah yang mengakibatkan perceraian (memutuskan hubungan suami-istri).
Walaupun Islam memperbolehkan perceraian, akan tetapi mempertahankan pernikahan
adalah yang lebih utama di dalam Islam. Sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi:
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
خَالِدٍ، عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ ابْنِ
عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: "أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ
الطَّلَاقُ"
Telah
menceritakan kepada kami Katsir bin Ubaid, telah mengabarkan kepada kami
Muhammad bin Khalid dari Ma’ruf bin Washil dari Mukharib bin Disar dari Ibnu
Umar dari Nabi Saw bersabda: “Perkara yang halal yang paling dibenci oleh
Allah adalah perceraian”.[1]
Istri
yang ditalak oleh suami harus melaksanakan ‘iddah terlebih dahulu, baik
talak melalui perceraian, maupun talak yang ditinggal mati suaminya. Seorang istri
tidak boleh menikah lagi sebelum masa iddahnya habis, baik itu suami-istri
menggunakan thalaq raj’i ataupun menggunakan thalaq bain.[2]
Masa iddah diwajibkan pada semua wanita yang berpisah dari
suaminya dengan sebab talak, khulu’ (gugat cerai)[3],
faskh (penggagalan akad pernikahan) atau ditinggal mati, dengan syarat
suami telah melakukan hubungan suami-istri dengannya atau telah diberikan
kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk melakukannya.[4]
‘Iddah berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata العِدَّة
yang bermakna perhitungan (الإِحْصَاء).[5]
Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara
umum dalam menentukan selesainya masa ‘iddah.
Secara istilah ‘iddah adalah sebutan atau nama suatu
masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia
ditinggal mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu
kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’,[6]
atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.[7]
Atau suatu istilah untuk menyebutkan masa tunggu seorang wanita untuk
memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk
menghilangkan rasa sedih atas sang suami.[8]
Dengan demikian dari penjelasan di atas, Islam
mewajibkan ‘iddah bagi seorang istri adalah demi melindungi kehormatan
keluarga, serta menjaga dari perpecahan[9]
dan percampuran nasab.[10]
Ayat-ayat yang menerangkan tentang
permasalahan ‘iddah di dalam pembahasan makalah yang berjudul “Tafsir Ayat-Ayat
‘Iddah” di dalam mata kuliah “Ayat-Ayat Hukum Keluarga” ini ialah terdiri
dari QS al-Baqarah (2): 228, QS al-Baqarah (2): 234, dan QS at-Thalaq (65):
4-7.
PEMBAHASAN
A. TEKS
AYAT
1.
Ayat
Pertama QS al-Baqarah (2): 228.
228.
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.[11] Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah.[12] Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya.[13] Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[14]
2. Ayat Kedua QS al-Baqarah (2): 234.
2. Ayat Kedua QS al-Baqarah (2): 234.
234. Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[15] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. [16]
3. Ayat Ketiga QS At-Thalaq (65): 4.
3. Ayat Ketiga QS At-Thalaq (65): 4.
4. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.[17]
B. MAKNA MUFRADAT
1. Mufradat Ayat Pertama QS al-Baqarah (2): 228.
1. Mufradat Ayat Pertama QS al-Baqarah (2): 228.
2. Mufradat
Ayat Kedua QS al-Baqarah (2): 234.
3. Mufradat Ayat Ketiga QS
At-Thalaq (65): 4.
Asbabun nuzul ayat pertama
yaitu QS al-Baqarah (2): 228, ayat ini berkenaan dengan Asma’ binti Yazid
Al-Anshariyah, sebagaimana diriwayatkan dari Umar bin Muhajir yang diterima
dari ayahnya, Asma’ binti Yazid Al-Anshariyah berkata,: “saya diceraikan di
zaman Rasulullah. Pada waktu itu belum ada ‘iddah bagi wanita yang diceraikan oleh suaminya.
Kemudian Allah menurunkan ayat tentang ‘iddah bagi wanita yang
diceraikan oleh suaminya.” Maka Asma’lah wanita pertama kali menerima ‘iddah
talak.[18]
Mengenai QS al-Baqarah (2): 234, ayat ini tidak ada
kepastian mengenai asbabun nuzul ayatnya, namun ditemukan hadis yang membahas
ayat ini, yaitu:
Telah menceritakan kepada kami Ishaq. Telah
menceritakan kepada kami Rauh. Telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu
Abu Najih, dari Mujahid mengenai firman Allah: Dan orang-orang yang mati di
antara kamu serta meninggalkan istri-istri (Al Baqarah; 234). Ayat ini
menerangkan wajibnya iddah di rumah keluarganya. Lalu Allah menurunkan ayat;
Dan orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah
membuat wasiat untuk istri-istrinya yaitu nafkah sampai setahun tanpa
mengeluarkannya dari rumah. Tetapi jika mereka keluar sendiri, maka tidak ada
dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri dalam
hal-hal yang baik.[19]
Mujahid
berkata; Allah telah menjadikannya sebagai penyempurna dalam hitungan setahun
yaitu tujuh bulan dan dua puluh malam sebagai wasiat. Apabila dia ingin, maka
dia menempati sesuai wasiat tersebut. Namun jika ia ingin keluar, maka itu
sudah menjadi kehendaknya. Itulah yang dimaksud firman Allah Ta’ala: Tetapi
jika mereka keluar sendiri, maka tidak ada dosa bagimu. Maka iddah adalah
perkara yang wajib. Perawi mengaku itu dari Mujahid. Atha berkata; Ibnu Abbas
berkata; “ Ayat ini telah menghapus ‘iddah di rumah keluarganya sehingga
ia ber’iddah di tempat yang ia kehendaki, yaitu firman Allah Azza wa
Jalla: ‘Tanpa keluar rumah.’ ” Atha berkata; ‘Jika dia berkehendak, maka dia
beriddah di rumah keluarganya dan tinggal sesuai wasiatnya.’ Namun jika dia
berkehendak, ia keluar darinya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala: “Maka tidak
ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka
senidiri.” (QS. Albaqarah 240). Atha berkata; kemudian turun ayat mirats
(mengenai warisan) yang menghapus mengenai tempat tinggal, maka dia boleh
beriddah sesuai kehendaknya tanpa harus tinggal dirumahnya. Dan dari Muhammad
bin Yusuf, telah menceritakan kepada kami Warqa dari Ibnu Abu Najih, dari
Mujahid dengan redaksi yang serupa. Dan dari Ibnu Abu Najih, dari Atha dari
Ibnu Abbas dia berkata; ayat ini telah menghapus 'iddahnya di rumah
keluarganya sehingga ia ber'iddah di tempat yang ia kehendaki, yaitu
firman Allah Azza wa Jalla: Tanpa keluar rumah.[20]
Hukum pada QS al-Baqarah (2): 234 di atas,
hukum ayat tersebut telah dinasakh[21]
oleh Q.S al-Baqarah (2): 240 yang berbunyi:
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri
mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[22]
Hukum yang dinasakh di dalam QS al-Baqarah (2): 234 tersebut hanyalah
mengenai, perempuan yang ber’iddah pada dasarnya, harus menyelesaikan
iddahnya di rumah suaminya. Namun, khusus bagi perempuan yang ditalak mati oleh
suaminya (suaminya meninggal dunia), maka perempuan tersebut boleh meninggalkan
rumah suaminya, dan terserah bagi dirinya memilih tempat lain untuk menyelesaikan
iddahnya, yaitu masa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.
Asbabun Nuzul ayat ketiga yaitu QS At-Thalaq (65): 4. “Ibnu Jarir, Ishaq bin Rahawaih, al-Hakim dan
lainnya meriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab yang berkata, “Ketika turun ayat yang
terdapat dalam surah al-Baqarah, yaitu yang berbicara tentang masa iddah
beberapa kelompok wanita, para sahabat berkata: ‘masih ada beberapa golongan
wanita lagi yang belum ditetapkan masa iddahnya, yaitu yang masih kecil,[23] yang
sudah tua (sudah menopause), dan wanita yang sedang hamil.’ Allah lalu
menurunkan ayat ini.” Riwayat ini sanadnya sahih. Dalam riwayat lain, Muqatil
juga meriwayatkan dalam kitab tafsirnya bahwa suatu ketika Khallad bin Amru bin
Jamuh bertanya kepada Rasulullah tentang iddah wanita yang tidak haid. Sebagai
responsnya, turunlah ayat ini.[24]
D. TAFSIR AYAT
QS al-Baqarah (2): 228, QS al-Baqarah (2): 234, dan QS At-Thalaq (65): 4, di atas menggambarkan empat macam perempuan yang melaksanakan iddah yaitu, Pertama, perempuan yang mengalami haid, sehingga untuk menyelesaikan iddahnya ia mesti melaksanakan tiga kali quru’, dengan syarat sudah dicampuri oleh suaminya. Bagi perempuan yang belum dicampuri oleh suaminya, namun talak sudah diterima olehnya, maka tidak kewajiban untuk melaksanakan iddah baginya, sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi:
D. TAFSIR AYAT
QS al-Baqarah (2): 228, QS al-Baqarah (2): 234, dan QS At-Thalaq (65): 4, di atas menggambarkan empat macam perempuan yang melaksanakan iddah yaitu, Pertama, perempuan yang mengalami haid, sehingga untuk menyelesaikan iddahnya ia mesti melaksanakan tiga kali quru’, dengan syarat sudah dicampuri oleh suaminya. Bagi perempuan yang belum dicampuri oleh suaminya, namun talak sudah diterima olehnya, maka tidak kewajiban untuk melaksanakan iddah baginya, sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah[25]
dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”.[26]
Kedua, iddahnya perempuan yang ditinggal mati suaminya, masa iddahnya
yaitu, selama empat bulan sepuluh hari, tentulah dalam hal ini
adalah hitungan bulan hijriyah. Khusus iddah bagi perempuan yang ditinggal mati
suaminya, perempuan tersebut boleh memilih tempat iddahnya sendiri, tidak mesti
di rumah suaminya.
Para
ulama sepakat, jika seorang perempuan ditinggal mati oleh suaminya dan dia
tidak dalam keadaan hamil, dia wajib beriddah selama empat bulan sepuluh hari.
Sedangkan perempuan yang ditinggal suaminya dalam keadaan hamil, iddahnya sama
dengan perempuan yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil. Keduanya
beriddah sampai anaknya lahir,[27]
sebagaimana firman Allah:
Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.[28]
Selain
ayat di atas, ada hadis yang mendukung kesimpulan ini. Imam Bukhari
meriwayatkan bahwa ada seorang perempuan Sabi’ah yang melahirkan beberapa malam
setelah suaminya meninggal. Dia menemui Nabi dan meminta izin untuk menikah.
Beliau mengizinkannya dan menikahlah Sabi’ah yang masih nifas.[29]
Ketiga, iddahnya
perempuan yang mengalamai menopause dan perempuan yang tidak mengalami haid,
masa iddahnya selama tiga bulan hijriyah. Maksud iddahnya perempuan menopause
dan perempuan yang tidak haid disini, adalah perempuan yang sudah dicampuri,
tujuan iddah bagi mereka untuk melihat apakah mereka masih bisa mempunyai anak
atau tidak. Keempat, iddahnya perempuan yang sedang hamil,[30]
iddahnya sampai perempuan tersebut melahirkan.[31]
E. PENDAPAT ULAMA MENGENAI IDDAH
Syaikh
Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah bin al-Fauzan mengatakan hikmah
disyariatkannya iddah adalah:
1. Untuk memastikan apakah perempuan tersebut sedang
hamil atau tidak.
2. Syariat Islam telah mensyariatkan masa ‘iddah
untuk menghindari ketidak jelasan garis
keturunan yang muncul jika seorang perempuan ditekan untuk segera menikah.
keturunan yang muncul jika seorang perempuan ditekan untuk segera menikah.
3. Masa ‘iddah disyariatkan untuk menunjukkan
betapa agung dan mulianya sebuah akad
pernikahan.
pernikahan.
4. Masa ‘iddah disyariatkan agar kaum pria dan
wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali
kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.
kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.
5. Masa ‘iddah disyariatkan untuk menjaga hak
janin berupa nafkah dan lainnya apabila perempuan
yang dicerai sedang hamil.[32]
yang dicerai sedang hamil.[32]
F. FENOMENA MENGENAI IDDAH
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, menyebutkan di dalam pasal 14 yaitu berbunyi:
“Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di
tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan
isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar
diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Berdasarkan pasal 14 di atas, maka fenomena yang ada
di masyarakat saat ini adalah talak yang jatuh kepada istri dan istripun sudah
melaksanakan iddahnya, namun talak dan iddah itu dilaksanakan ketika belum
terjadinya persidangan di Pengadilan. Sebab, negara belum mengakui talak yang
telah dijatuhkan oleh seorang suami dan pelaksanaan iddah yang dilakukan oleh
seorang istri di luar persidangan perceraian. Sehingga, karena dianggap tidak
sah oleh negara, membuat sebagian orang dari kalangan suami-istri tersebut kembali
melakukan hubungan intim, ketika telah kembali rasa cinta di antara mereka
berdua. Memang pada dasarnya talak dan pelaksanaan iddah tersebut sudah sah
secara agama walaupun tidak melalui mekanisme persidangan di Pengadilan.
Sebagai warga negara yang baik, hendaklah seorang
suami yang hendak mentalak istrinya haruslah melalui jalur persidangan di
Pengadilan, walaupun mekanisme-mekanisme yang dilewati sulit, akan tetapi mekanisme-mekanisme
yang sulit itu bisa membuat suami berpikir dua kali untuk mentalak istrinya. Kalaupun
talak yang dijatuhkan di luar Pengadilan, talak tersebut sudah dianggap sah,
hal inilah yang harus dijelaskan ke pada masyarakat bahwa jangan sembarangan
mengucapkan kata “talak” pada istrinya, dan mesti dijelaskan pula bahwa, jika
negara belum mengakui talak yang diucapkan di luar Pengadilan, bukan berarti
suami-istri tersebut bisa kembali melakukan hubungan suami-istri.
KESIMPULAN
Talak yang
dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya, maka istri wajib melaksanakan
iddah, yaitu selama tiga kali quru’ bagi istri yang mengalami haid. Seorang
perempuan yang sudah mengalami menopause dan perempuan yang tidak pernah
mengalami haid, maka masa iddahnya selama tiga bulan. Sedangkan perempuan yang
hamil (perempuan yang dicerai mati, dalam artian suaminya meninggal dunia dan dia dalam keadaan hamil) maka masa iddahnya sampai perempuan tersebut melahirkan.
Perempuan-perempuan
yang melaksanakan iddah, harus menyelesaikan iddahnya di rumah suaminya. Kecuali
istri yang dicerai mati oleh suaminya. Sebab bagi istri yang dicerai mati oleh
suaminya, ia boleh memilih tempat iddahnya sendiri.
Iddah wajib bagi
perempuan yang ditalak raj’i maupun yang ditalak bain. Namun,
perempuan yang ditalak bain pihak suami tidak bisa ruju’ kembali
kepada istri yang telah ditalaknya. Kecuali mantan istrinya tersebut menikah
lagi dengan laki-laki lain, lalu dijimak, setelah itu diceraikan. Syarat pelaksanaan
iddah adalah istri yang sudah dicampuri oleh suaminya. Kecuali bagi istri yang
belum dicampuri oleh suaminya, maka tidak ada kewajiban pelaksanaan iddahnya.
Pelaksanaan
iddah disyariatkan bagi perempuan bertujuan untuk menjaga kehormatan keluarga,
sehingga dalam masa iddah, mana tahu pihak suami ingin kembali rujuk. Iddah
diperlukan agar tidak ada percampuran nasab, jika perempuan yang ditalak itu ternyata
sedang dalam keadaan hamil, sekalipun perempuan tersebut tidak pernah sama
sekali mengalami haid ataupun sudah menopause. Dengan demikian, pensyariatan
iddah ini menunjukan bahwa betapa besarnya perhatian Islam dalam menjaga
marwah, harkat dan martabat kaum perempuan.
DAFTARA KEPUSTAKAAN
A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga(negara)an
dan Civie Education, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).
Al-Quran dan Terjemahan (1989), Departemen Agama Republik
Indonesia, Semarang: Toha Putra.
Dr. Abdul Azim Badawi, al-Wajîz fi Fiqhissunnah wal Kitâbil
Azîz, (Faruskur: Dar Ibnu Rajab Mesir, 2001).
Dr. Kadar M
Yusuf, M.Ag, Studi al-Quran: (Jakarta: Amzah, 2014).
Dr. Mardani, Tafsir
Ahkam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014).
Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 1997)
Imam Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistaniy Al-Azdy, Sunan
Abu Dawud, Vol. 3, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 1996).
Kementerian Urusan Wakaf Kuwait, Mausû’ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyah, (Kementerian Urusan Wakaf Kuwait, 2008).
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan, al-Mulakhash al-Fiqhi (Riyadh: Dar 'Ashamah, 2002/1423 H).
Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. H.
Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013).
Catatan Kaki
[1] Diriwayatkan
oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistaniy Al-Azdy, di dalam
kitab, Sunan Abu Dawud, Vol. 3, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah,
1996), h. 571.
[2] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 1997), h. 96.; Tahlaq
Raj’i yaitu talaq yang masih memungkinkan bagi
suami untuk merujuk kembali. Sedangkan Thalaq Bain yaitu talaq yang
sudah jatuh tiga kali, antara keduanya tidak dapat menjalin suami istri lagi, walaupun
masa iddah seorang perempuan tersebut sudah habis, tetap saja tidak bisa rujuk.
Kecuali jika perempuan itu telah menikah dengan orang lain, lalu melaksanakan
jimak dan bercerai dengan suami barunya tersebut.
[3] Dalam kasus khulu’
pihak istrilah yang menghendaki perpisahan. Suami tidak punya hak sama sekali
untuk mengajak rujuk. Namun masa iddahnya, istri hanya menunggu sekali haid
untuk memastikan tidak adanya janin di rahimnya. (Imtihan Asy-Syafi’i, Tafsir
Ayat-Ayat Wanita, Solo, Aqwam, 2009, h. 15-16 sebagaimana yang dikutip oleh
Dr. Mardani, Tafsir Ahkam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014, h. 280).
Sedangkan Faskh, sebagian ulama menyamakannya dengan khulu’.
[4]Syaikh Dr.
Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan, al-Mulakhash
al-Fiqhi (Riyadh: Dar ‘Ashomah, 2002/1423
H), jilid. 2, h. 420).
[5] Kementerian
Urusan Wakaf Kuwait, Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, (Kementerian
Urusan Wakaf Kuwait, 2008), juz 29, h. 304.
[6] Para Ulama
tidak sepakat dalam memaknai Quru’ ada yang mengatakan bahwa Quru’
maknanya suci, dan ada yang mengatakan Quru’ maknanya haid. (penjelasan Dr.
Kadar M Yusuf, M.Ag, Studi al-Quran: Jakarta, Amzah, 2014, h. 80).
Namun, kedua makna ini (suci dan haid) bisa disatukan yaitu seorang perempuan
haruslah suci, makna suci disini bagi perempuan adalah suci dari haid, sebab
haid adalah darah kotor yang keluar dari tubuh perempuan. Ketika haid ini
selesai, maka perempuan tersebut diwajibkan untuk mandi junub (mandi besar)
untuk menyucikan dirinya dari bekas-bekas haid yang menempel di tubuhnya.
[7] Dr. Abdul Azim
Badawi, al-Wajîz fi Fiqhissunnah wal Kitâbil Azîz, (Faruskur: Dar Ibnu
Rajab Mesir, 2001), h. 329.
[8] Mausû’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, Op. Cit., juz.29, h. 304.
[9] Maksudnya,
mana tahu pada beberapa waktu yang telah ditentukan di dalam masa iddah, seorang suami yang menalak istrinya kembali
muncul rasa cinta, yang pada akhirnya rujuk. Kecuali thalaq bain, seorang
istri yang di thalaq bain oleh suaminya, maka tidak akan bisa kembali
rujuk kecuali istri menikah dengan laki-laki lain lalu bercerai.
[10] Dengan adanya masa
iddah ini, seorang perempuan bisa dipastikan apakah dirahimnya ada kandungan
ataupun tidak, sehingga tidak akan tejadi percampuran keturunan, jika seorang
perempuan tersebut mendapatkan thalaq bain dari suaminya.
Sehingga kehormatan keluargapun tetap terjaga.
[11] Mengenai Quru’,
sudah dijelaskan sebelumnya (lihat no 5 dalam catatan kaki ini).
[12] Ishlah disini
apabila suami-istri tersebut menginginkan untuk ruju’. Namun, para wali
yang berhak menikahkan suami-istri tersebut tidak boleh menghalang-halangi
suami-istri yang hendak melaksanakan ishlah, sebagaimana bunyi QS al-Baqarah
(2): 232, asbabun nuzul ayat ini mengenai Ma’qil bin Yassar yang tidak mau
menikahkan adiknya kepada lelaki yang telah menceraikan adinya tersebut,
padahal kasus cerainya masih pada tahap talak raji’i.
[14] Al-Quran terjemahan
Depertemen Agama Republik Indonesia, 1989.
[15] Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.
[16] Al-Quran terjemahan
Depertemen Agama Republik Indonesia, 1989.
[17]
Al-Quran terjemahan
Depertemen Agama Republik Indonesia, 1989.
[18] Ibnu Katsir, Tafsir
al-Quran al-Azhim, jilid I, h. 269, sebagaimana dikutip oleh Dr. Kadar M.
Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 75 dikutip lagi
oleh Dr. Mardani, Tafsir Ahkam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h.
274.
[19]HR Bukhari no
4167 yang dikutip oleh http://www.mutiarahadits.com/69/06/76/bab-surat-al-baqarah-ayat-234.htm
[20] Ibid.
[21] Nasakh adalah
mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain. Sedangkan
Manuskh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapus (Syaikh Manna al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, ter.
H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2013, h. 285-286).
Dengan kata lain nasakh jika diterjemahkan ke dalam bahasa ilmiah Indonesia
disebut amendemen (perubahan). Amendemen adalah perubahan konstitusi yang
apabila suatu konstitusi diubah, konstitusi yang asli (yang lama) tetap berlaku
(isi ayatnya tidak dihapus, namun pada kondisi tertentu, hukum yang ada di
dalam undang-undang yang di amendemen tersebut bisa digunakan kembali seperti
halnya), dengan kata lain, perubahan pada model amendemen tidak terjadi secara
keseluruhan bagian dalam konstitusi asli sehingga hasil amendemen tersebut
merupakan bagian atau lampiran yang menyertai konstitusi awal. Sedangkan
mansukh jika diterjemahkan ke dalam bahasa ilmiah Indonesia disebut renewal (pembaruan/diperbarui).
Renewal adalah sistem perubahan konstitusi dengan model perubahan konstitusi
secara keseluruhan, sehingga yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru
secara keseluruhan, artinya konstitusi yang asli dihapus dan diganti dengan
yang baru. (A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga(negara)an
dan Civie Education, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012, h. 100).
[22] QS al-Baqarah (2):
240. Terjemahan Depertemen Agama Republik Indonesia, 1989.
[23] Maksud masih
keci, juga bisa diartikan perempuan-perempuan yang tidak pernah mengalami haid.
[24] Dr. Mardani, Tafsir
Ahkam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 267.
[25] Arti Mut’ah
disini bukanlah bermakna, nikah kontrak
sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang kebanyakan. Mut’ah artinya adalah
kesenangan atau hiburan, dengan demikian memberikan mut’ah di dalam ayat
tersebut adalah memberikan kesenangan.
[26] QS al-Ahzab
(33): 49 terjemahan Depertemen Agama Republik Indonesia, 1989.
[27] Dr. Mardani, Tafsir
Ahkam, Op. Cit., h. 286-287.
[28] QS ath-Thalaq
(65): 4, terjemahan Depertemen Agama Republik Indonesia, 1989.
[29] Imtihan
Asy-Syafi’i, Tafsir Ayat-Ayat Wanita, (Solo: Aqwam, 2009), h. 18-19.
Sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Mardani, Tafsir Ahkam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014), h. 287.
[30] Perempuan yang
sedang hamil yang ditalak, hendaklah mantan suaminya memberikan nafkah
kepadanya sebagaimana bunyi QS at-Thalaq (65): 6, yaitu: “Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
[31] Dr. Mardani, Tafsir
Ahkam, Op. Cit., h. 267
[32] Syaikh Dr.
Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan, al-Mulakhash
al-Fiqhi, Op. Cit., jilid. 2, h.
419-420.
No comments:
Post a Comment