Makalah
Asal Usul Istilah Tasawuf
Oleh: Herif De
Rifhara
Kata Pengantar
Banyak kekurangan-kekurangan yang kami rasakan dalam
penulisan Makalah yang kami kumpulkan dari berbagai sumber ini. Dikarenakan
kami belum begitu paham tentang ilmu tasawuf itu. Ada yang mengatakan ilmu
tasawuf adalah ilmu yang sesat dan haram apabila mempelajari tasawuf tersebut.
Sehingga kami ragu untuk mengambil sumber yang mengatakan tasawuf sesat dan
haram dipelajari. Walau demikian kami terus mencari sumber-sumber tentang ilmu
tasawuf dari berbagai sumber, sampai pada ahkirnya kami dapat juga menyusun
Makalah kelompok kami yang berjudul ASAL USUL ISTILAH
TASAWUF SERTA DALIL-DALIL AL-QURAN dan HADITSNYA. Penjelasan tentang tasawuf
selanjutnya akan dijelaskan oleh kelompok lain.
Kesempurnaan hanya milik Allah Swt. Hanya
kepada-Nyalah kami kembalikan segala urusan. Segala kekurangan dalam penjelasan
makalah Ilmu Tasawuf yang kami susun dari berbagai sumber ini sangat kami
rasakan, karena itu kami memohon ampun kepada Allah Swt atas segala kekurangan.
Dan tidak lupa juga shalawat dan salam kami sampaikan kepada junjugan Nabi
besar kita Muhammad Saw, sekaligus utusan Allah Swt yang di utus kepada manusia
agar manusia tidak hidup berlebih-lebihan dan mengonsumsi prilaku hidup boros.
PENDAHULUAN
Banyak orang Islam
yang antipati kepada tasawuf, tetapi banyak juga kelompok orang yang sangat
mengagungkan tasawuf bahkan tarekat. Sebagai seorang muslim yang mencintai
ilmu, kita harus memahami secara kritis apa dan bagaimana tasawuf dan tarekat
itu, sehingga kita bisa menyikapinya secara proporsional.
Tasawuf pada hakikatnya adalah ajaran
tentang latihan pengendalian diri (mujahadah an-nafs) sehingga manusia mencapai
kualifikasi akhlak yang baik, yakni jiwa yang taqarrub (dekat kepada Allah) dan
ma’rifatullah (mengetahui Allah dengan ilmu).
Bagi Iman al-Ghazali, juga bagi para ulama
yang tafaqquh fiddin, tasawuf yang benar adalah tasawuf yang berlandaskan dalil
Al-Qur’an dan hadits shahih. Oleh karena itu segala ajaran tasawuf yang tidak
memiliki rujukan yang absah dianggap sebagai ajaran yang diada-adakan, dan itu
bathil.
Pada abad kedua hijriyah, di masa dinasti
Umayah, wilayah kekuasaan Islam sangat luas mencakup seluruh jazirah Arab,
Sebagian Eropa Timur termasuk Spanyol, bahkan sampai ke pintu gerbang Wina. Umat Islam bukan
menjajah tetapi menjadikan wilayah – wilayah baru itu sebagai kekuasaan otonomi
yang menginduk kepada pusat. Negara-negara Islam menjadi kaya raya. Akan tetapi
ada akibat lain yakni banyak pejabat negara dan sebagian umat Islam
terkena penyakit “wahan” yakni bersikap materealistik dan individualistik.
Penyakit ini pun merambah kepada sebagian ulama. Ulama-ulama yang lain yang
ingin mempertahankan hidup zuhud sebagaimana nabi SAW dan para
sahabatnya, merasa khawatir terkontaminasi penyakit “wahan” ini lantas pergi
jauh ke luar kota. Mereka hijrah ke tempat terpencil untuk menjauhi glamour
dunia, ini disebut uzlah. Di tempat terpencil ini mereka melatih diri untuk
hidup sederhana atau hidup zuhud. Mereka melepaskan pakaian-pakaian yang mewah
lantas menggantinya dengan pakaian yang sangat sederhana yang terbuat dari bulu
domba. Bulu domba itu bahasa Arabnya Shuf, maka disebutlah kaum Sufi. Sedangkan
ajaran tentang bagaimana cara hidup sederhana atau hidup zuhud disebut tasawuf.
Jadi Sufi adalah orangnya sedangkan tasawuf adalah ajarannya.
(http://forum.dudung.net/index.php?topic=1616.0;wap)
A. ASAL USUL ISTILAH
TASAWUF(http://athos666.multiply.com/journal/item/13/Sejarah_Tasawuf)
1. Hakekat Tasawuf
terjadi perbedaan pendapat para peneliti mengenai
asal-usul istilah tasawuf, termasuk Orang-orang sufi sendiri.
Asy Syibli pernah ditanya, “kenapa orang-orang sufi
dinamakan sufi?.” Asy Syibli menjawab”nama yang diberikan kepada mereka
diperdebatkan asal-usul dan sumber penghambilannya.” Orang-orang sufi sendiri
berbeda pendapat tentang asal-usul kata sufi hingga Sekarang.
At-Thusi Abu
Nashr As-Siraj menukil dibukunya yang merupakan referensi sufi terklasik dari
seorang sufi yang berkata: “Pada awalnya kata sufi adalah shawafi karena
pengucapannya dirasa sulit, maka dikatakan sufi.” Hal yang sama dinukil
Ath-Thusi dari Abu Al Hasan Al Kanad yang berkata: “Kata sufi diambil dari kata
ash-shafa (kejernihan).”
Al kalabadzi Abu bakar Muhammad, orang sufi terkenal,
menukil banyak sekali pendapat dari sejumlah orang-orang sufi tentang asal-usul
sufi. Salah satu kelompok berkata: “orang-orang sufi dikatakan sufi, karena
kebeningan batin mereka dan kebersihan jejak mereka.” Kelompok lain berkata:
“Orang-orang sufi dikatakan sebagai sufi, karena mereka berada di shaf
(barisan) pertama di depan Allah SWT. Kelompok lain berkata: “orang-orang sufi
dinamakan sufi karena sifat-sifat mereka mirip dengan penghuni shuffah pada
zaman Nabi Muhammad. Kelompok lain berkata: “Mereka dinamakan sufi, karena
mereka mengenakan ash-shuf(wol).
Orang yang
menisbatkan orang-orang sufi kepada shuffah dan ash-shuf menjelaskan tentang
kondisi lahiriah orang-orang sufi, karena mereka (orang-orang sufi)
meninggalkan dunia. Untuk itu mereka keluar dari tempat tinggal mereka, meninggalkan
teman-teman mereka, berkelana ke penjuru dunia, melaparkan perut dan menelanjangi
badan. Mereka tidak mengambil dunia kecuali apa yang tidak boleh ditinggalkan,
yaitu menutup aurat dan menghentikan kelaparan. Karena mereka pergi dari tempat
tinggal mereka, maka mereka dinamakan orang asing. Karena mereka banyak
berjalan di padang-padang pasir dan berlindung di goa goa saat darurat, mereka
dinamakan syakfatiyah oleh sebagian penduduk, karena syakfat dalam bahasa
mereka berarti goa.
Orang-orang Syam menamakan orang-orang sufi dengan
nama Juiyah, karena mereka makan sebatas yang menegakan tulang punggung untuk
kondisi darurat. Imam Abu Al faraj Abdurrahman bin Al Jauzi berkata: “Salah
satu kelompok yang berpendapat bahwa kata tasawuf diambil dari kata shuffah,
Mereka berpendapat seperti itu, karena melihat penghuni shuffah mempunyai sifat
shuffah seperti:mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah kepada Allah SWT
dan terus menerus dalam keadaan miskin. Mereka datang kepada Rasullullah tanpa
mempunyai harta dan keluarga, untuk itu beliau membangun shuffah di masjid
beliau dan karena itu mereka dinamakan penghuni shuffah. Mereka menetap di
masjid karena terpaksa dan makan dari harta zakat karena darurat, ketika Allah
Ta’ala memberi kemenangan-kemenangan kepada kaum muslimin, mereka tidak lagi
merasa perlu bertahan pada kondisi tersebut. Untuk itu mereka keluar dari
masjid.
Penisbatan sufi kepada shuffah adalah tidak benar,
karena jika seperti itu maka dikatakan sebagai shafi. Ada lagi yang berpendapat
bahwa kata tasawuf berasal dari kata shufanah yaitu sayuran andewi. Orang-orang
sufi dinisbatkan kepadanya, karena mereka melintasi tanaman-tanaman padang
pasir, ini juga tidak benar, karena jika mereka dinisbatkan kepadanya maka
dikatakan sebagai shufani.
Masih banyak lagi orang-orang dulu dan belakangan yang
mengemukakan pendapatnya tentang masalah ini. Diantara orang dulu ialah Bairuni
Abu Ar Raihan yang menyatakan bahwa tasawuf diambil dari kata sufiyah
dalam bahasa Yunani, yang berarti hikmah (kebijaksanaan), perkataan Bairuni
diringkas Shadiq Nasy’at dinukil dari buku Dzikru maa lil Hindi min Maqulatin
Maqbulah aw Mardzulah, Teksnya adalah sebagai berikut: “Orang-orang yunani
tempo dulu, maksudnya orang-orang bijak seperti Solan Al Atheni, meyakini
sebelum filsafat diluruskan orang-orang hindu bahwa segala sesuatu pada
hakikatnya adalah sesuatu yang satu. Mereka berkata bahwa manusia tidak
mempunyai keistimewaan atas kedekatan dengan causa prima (penyebab tertinggi)
dalam kedudukan. Sebagian dari mereka meyakini bahwa wujud hakiki ialah causa
prima tersebut, karena dia tak membutuhkan pihak lain dengan dzatnya, sedang
selain dia di alam semesta membutuhkan pihak lain. Jadi eksistensi selain causa
prima adalah khayal, sedang yang benar ialah causa prima saja.
Orang-orang
Yunani tersebut juga berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada pada hakikatnya
adalah satu dan causa prima terlihat didalamnya banyak bentuk dan kekuatannya
berada di bagian-bagian segala sesuatu yang ada dengan berbagai kondisi yang
menghendaki perubahan bersama penyatuan dzat. Diantara mereka ada yang
berpendapat bahwa orang yang pergi secara total kepada causa prima sembari
meniru dengannya sebisa mungkin itu bisa menyatu dengannya jika ia meninggalkan
semua sarana dan mengosongkan diri dari semua ikatan, ini juga pendapat
orang-orang sufi karena topiknya sama. Hal yang sama dikatakan
orientalis Jerman Fone Hamer, itu karenanya adanya kemiripan suara kata sufi
dengan kata bahasa Yunani shufiya. Begitu juga dengan kemiripan kata tasawuf
dengan theosofi. Inilah kontroversi asal-usul yang terjadi pada kata tasawuf, oleh
karena itu orang sufi tempo dulu Ali Al-Hajuwiri terpaksa
4
berkata: “sesungguhnya pengambilan asal-usul nama ini
(tasawuf) dimaknai apapun tidak benar menurut bahasa, karena nama tersebut
lebih agung dari kata tempat ia berasal. Hal yang sama dikatakan Al-Qusyairi di
Risalahnya: “Tidak ada qiyas dan asal-usul kata dalam bahasa Arab yang
memberikan kesaksian tentang kata tasawuf.”
Banyak sekali
pendapat asal usul istilah tasawuf, misalnya Al Qusyairi, bahwa kata tasawuf
adalah defectif, yang tidak mempunyai asal-usul, ada yang berpendapat bahwa
kata tasawuf diambil dari kata ash-shafa atau ash-shafwu (kejernihan). Ada lagi
yang berpendapat kata tasawuf diambil dari kata ash-shuf (wol), karena
pemakaian ash-shuf banyak dilakukan orang-orang zuhud. Ada lagi yang mengatakan bahwa
sufi diambil dari kata shuffah yang nisbatkan kepada sebagian besar sahabat.
Namun, penisbatan kata kepada shuffah itu tidak dalam bentuk kata sufi, namun
dalam kata shuffi.
Pendapat yang
paling kuat dan paling dekat dengan akal ialah pendapat bahwa sufi diambil dari
kata ash-shuf (wol) dan mutashawwif (orang tasawuf) juga diambil dari kata
tersebut, karena dikatakan tashawwafa, jika orang tersebut mengenakan ash-shuf
(wol).
2. Permulaan
Kemunculan Istilah Tasawuf
Para ulama berbeda pendapat tentang
awal kemunculan kata tasawuf. Ibnu Taimiyah dan sebelum itu Ibnu Al Jauzi dan
Ibu Khaldun menyebutkan bahwa kata sufi tidak dikenal di tiga abad hijriyah,
namun pembicaran tentang tasawuf dikenal setelah itu. As Siraj Ath Thusi
berkata di bab khusus yang ia buat untuk mengkounter pendapat yang menyatakan:
“Kami tidak mendengar penyebutan orang-orang sufi pada zaman dulu dan kata
tersebut adalah kata baru.” Berkata As Siraj: “Jika penanya bertanya dengan
berkata bahwa kami tidak mendengar penyebutan orang-orang sufi dikalangan
sahabat-sahabat Nabi SAW atau generasi sesudah mereka, kami hanya mengenal
istilah orang-orang ahli ibadah, orang-orang zuhud, para pengembara, para orang
miskin. Selain itu, tidak pernah dikatakan kepada seorang sahabat bahwa ia
orang sufi.” Hal yang sama dikatakan As-Sahruradi: “kata tasawuf tidak dikenal
pada zaman Rasullullah.” ada yang mengatakan bahwa kata tasawuf (sufi) tidak
dikenal hingga tahun 200 Hijriyah. Abdurrahman Al Jami menegaskan: “Abu Hasyim
Al Kufi adalah orang yang pertama kali dipanggil dengan sebutan sufi dan
sebelumnya tidak ada seorang pun yang diberi nama dengan nama tersebut.
Khaniqah yang pertama kali ialah khaniqah di Ramlah, Syam.”
Adapun Al Hajuwiri, ia menyebutkan kata tasawuf sudah
ada pada zaman Rasullullah dan dengan kata yang sama, Al Hajuwiri berhujjah
dengan hadits palsu yang mengatasnamakan Rasullullah, katanya Beliau bersabda:
“Barangsiapa mendengar suara orang-orang sufi, namun tidak mengamankan doa
mereka, ia ditulis disisi Allah sebagai orang yang lalai.” Padahal Al Hajuwiri
sendiri menulis di akhir bab yang sama ketika menjelaskan perkataan Abu Al
Hasan Al Busynaji: “Tasawuf pada hari ini adalah nama tanpa hakekat dan sebelum
itu adalah hakekat tanpa nama.” Maksudnya, nama tasawuf tidak ada pada zaman
sahabat dan generasi salaf sedang maknanya ada pada setiap orang dari mereka,
sedang sekarang namanya ada, namun maknanya tidak
ada. Adapun para
orientalis yang menulis tasawuf seperti Nichelson, ia
berpendapat bahwa kata tasawuf pertama kali diberikan kepada Abu Hasyim Al Kufi
(meninggal pada tahun 150 H).
Adapun bentuk
jamak kata sufi, yaitu shufiyah (orang-orang sufi) yang muncul pada tahun 189 H
(814M) di Iskandariyah, maka itu menunjukkan dekatnya periode ketika itu dengan
salah satu aliran tasawuf islam, yang nyaris merupakan aliran Syiah dan muncul
di Kufah. Abdak adalah imam
terakhir tasawuf dan termasuk orang yang berpendapat imamah (kepemimpinan) itu
bisa dimiliki dengan pewarisan dan penunjukan. Abdak tidak makan daging dan
meninggal dunia di Baghdad kira-kira pada tahun 210 H. Jadi penggunaan kata
sufi terbatas di Kufah.
Adapun Abu Nu’Aim
Al Ashbahani yang kemudian menyusun bukunya Al-Hilyah untuk orang-orang sufi.
Dalam batasan-batasan tasawuf ia menyebutkan banyak hal mungkar dan buruk, Ia
tidak malu untuk mengatakan bahwa Nabi Muhammad, abu Bakar, Umar, Utsman, Ali
dan sahabat-sahabat terkemuka, adalah orang-orang sufi, karena berargumen
mereka orang-orang yang zuhud. (http://athos666.multiply.com/journal/item/13/Sejarah_Tasawuf)
B DASAR-DASAR
TASAWUF DALAM AL-QURAN DAN HADITS(Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.
Ag. Drs. Maman Abd. Djalil, 2000: 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22
s/d 26)
1. Landasan Al-quran
Secara umum,
ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman
terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti
melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat
perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, Al-quran dan As-sunnah.
Al-quran antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dapat saling
mencintai (mahabbah) dengan Tuhan. Hal itu difirmankan Allah dalam
Al-quran surat Al-Maidah ayat 54 yang artinya.
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa
di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang
bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, dan bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.”
Dalam Al-quran, Allah pun memerintahkan manusia agar
senantiasa bertaubat, membersihkan diri, dan memohon ampunan kepada-Nya
sehingga memperoleh cahaya dari-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak
menghinakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dengan Dia, sedang cahaya
mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan, “Ya Allah kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segela sesuatu.” (Q.S. Al-Tahrim ayat 8)
Al-quran pun menegaskan tentang pertemuan dengan Allah
di mana pun hamba-hamba-Nya berada. Hal ini sebagaiman di tegaskan-Nya:
“Dan kepunyaannya
Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. Sesunguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui).” (Q.S. Al-Baqarah
ayat 115)
Bagi kaum sufi, ayat di atas mengandung arti bahwa di
mana Tuhan ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai. (Harun Nasution, 1986:72)
Allah pun akan memberikan cahaya kepada
orang-orang yang dikehendaki-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Allah (pemberi)
cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam
kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu (pohon) zaitun
yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat
(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh
api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya
siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mebuat perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Nur ayat
35)
Allah pun
menjelaskan kedekatan manusia dengan-Nya, seperti disebutkan
dalam firman-Nya:
“Jika
hamba-hamba-Ku bertanya padamu (Muhammad) tentang diri-Ku, Aku adalah dekat,
Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia panggil Aku.” (Q.S. Al-Baqarah
ayat 186)
Kalangan sufi mengartikan kata “da’a” dalam ayat itu
bukan dalam arti berdoa yang lazim dipakai, tetapi berseru dan memanggil.
Dasar-dasar tasawuf ini ternyata banyak ditemukan dalam Al-quran. (Nasution, op. cit. hlm. 73)
Lebih dari itu, pada ayat 16 dari Surat Qaf, Allah menjelaskan:
“Sebenarnya Kami
ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami
lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.”
Berdasarkan ayat di atas, kebanyakan kalangan sufi
berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, orang tak perlu pergi jauh-jauh. Ia
cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. (Ibid). Lebih jauh lagi, Harun
Nasution menegaskan bahwa Tuhan ada di dalam, bukan di luar diri manusia.
(Harun Nasution, 1992:60)
Al-quran pun mengingatkan manusia agar tidak
diperbudak kehidupan duniawi dan kemewahan harta benda yang menggiurkan.
Sebagaimana difirmankan Allah:
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar,
maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali
janganlah setan yang pandai menipu, memperdaya kamu.” (Q.S. Fathir ayat
5)
Dalam pemahaman sufi, ayat di atas menjadi salah satu
dasar untuk menjahui kehidupan dunia yang penuh tipuan.
Tingkat Zuhud yang banyak diklaim sebagai awal
beranjaknya Tasawuf, telah dijelaskan dalam Al-quran
“Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sementara,
dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang bertaqwa.” (Q.S. An-Nisa’
ayat 77)
Sementara tingkatan Taqwa berlandaskan pada
firman Allah
Sesungguhnya,
orang yang paling mulia di antara kamu di sis Allah ialah orang yang paling
taqwa di antara kamu.” ( Q.S. Al-Hujarat ayat 13)
Tingkatan Tawakal
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya
Allah mencukupkan (keperluan)nya.” (Ath-Thalaq ayat
3)
Tingkatan syukur
“Sesungguhnya jika
kamu bersyukur pasti Kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu.” (Q.S. Ibrahim ayat
7)
Tingkatan sabar
Maka bersabarlah kamu karena sesungguhnya janji Allah
itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji
Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” (Q.S. Al-Mu’minun
ayat 55)
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 155)
Tingkatan Ridha
“Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha
terhadapnya.” (Q.S. Al-Ma’idah ayat 199)
2. Landasan Hadits
Sejalan dengan apa
yang sisebutkan dalam Al-qur’an, sebagaimana dijelaskan tadi, tasawuf juga dapat dilihat
dalam Hadits. Dijumpai di dalam hadits tentang kehidupan rohaniah manusia,
salah satu Hadits tersebut:
“Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri
berati ia mengenal Tuhannya.”
“Aku adalah
perbendaharaan yang tersembunyi maka Aku menjadikan makhluk agar mereka
mengenal-Ku.”
“Senantiasa
seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah
sehingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya
yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan
tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk
berusaha; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berpikir,
meninjau, dan berjalan.”
Hadits di atas
memberi petunjuk bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat
lebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana’, yaitu fana’-nya makhluk
sebagai yang mencintai kepada Tuhan seperti yang dicintainya. Namun, istilah
“lebur” atau fana’ ini, menurut kami harus dipertegas bahwa antara Tuhan dan
manusia tetaplah ada jarak atau pemisah, sehingga tetap ada perbedaannya antara
Tuhan dengan hamba-Nya. Disini hanya ditunjukkan keakraban antara makhluk dan
Khaliknya. (Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M. Ag. Drs. Maman Abd. Djalil,
2000: 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22 s/d 26)
KESIMPULAN
Sebagian orang
mengatakan ajaran tasawuf dan ajaran tarekat adalah ajaran yang tidak memiliki
landasan dalil yang sahih, baik dalil implisit maupun eksplisit, bisa mengarah
kepada perbuatan syiirik. Mereka beralasan, dikarenakan ajaran sufi adalah
pengalaman batin seseorang kepada Tuhannya, yang berbicara mengenai rasa.
Oleh karena itu, sikap seorang muslim yang beriman
kepada Allah dan rasul-Nya, apabila mempelajari sesuatu termasuk ajaran tasawuf
dan tarekat harus benar-benar kritis. Tidak boleh sungkan mengambil yang baik
walaupun kata orang lain salah. Dan juga jangan ragu membuangnya walaupun telah
menjadi keyakinan dan amalan banyak orang.
Mistisme dalam Islam disebut tasawuf dan kaum
Orientalis Barat menyebutnya sufisme, kata ini dalam
istilah Orientalis Barat dipakai untuk penyebutan mistisme Islam. Sufisme tidak dipakai
untuk mistisme yang terdapat dalam agama-agama lain. (Harun Nasution, 1992:56)
Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan
mistisme di luar islam, mempunyai tujuan yaitu memperoleh hubungan langsung
dengan Tuhan. Intisari dari mistisme, termasuk dalamnya sufisme, ialah kesadaran
akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan
mengasingkan diri dan berkotemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu
dapat mengambil bentuk ittihad, beratu dengan
Tuhan. (Harun Nasution, 1992:56)
Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai
ilmu pengetahuan, tasawuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana
seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah swt. (Harun Nasution,
1992:56)
Asal kata Tasawuf berasal dari kata sufi. Menurut sejarah,
orang yang pertama memakai kata sufi adalah seorang zahid atau ascetic bernama Abu Hasyim
Al-Kufi Iraq (w. 150 H). (Harun Nasution, 1992:56)
Tasawuf, pada awalnya pembentukannya, adalah akhlak
atau keagamaan, sedangkan moral keagamaan ini banyak diatur dalam Al-quran dan
As-sunnah. Sumber pertama ajaran Tasawuf adalah Islam sebab Tasawuf ditimba dari
Al-quran, As-sunnah dan amalan serta ucapan para Sahabat. Amalan serta ucapan
para Sahabat itu tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup Al-quran dan
As-sunnah. Karena itu, dua sumber utama tasawuf adalah
Al-quran dan As-sunnah. (Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.
Ag. Drs. Maman Abd. Djalil, Ilmu Tasawuf, (Bandung:
CV.PUSTAKA SETIA, 2000), h. 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22 s/d 26.)
PENUTUP
Demikianlah Makalah yang kami kumpulkan dari berbagai
sumber ini mengenai Asal usul ilmu tasawuf dan dalil-dalil Al-qurannya.
Mudah-mudahan apa yang kami buat ini semakin bertambah ilmu teman-teman tentang
islam secara kaffah terutama mengenai Ilmu Tasawuf. Sebagai buku
panduan atau buku pengambilan kutipan-kutipan yang kami pakai adalah Prof. Dr Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam
Islam, Dan Drs. Rosihon
Anwar, M. Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M. Ag. Drs. Maman Abd. Djalil, Ilmu Tasawuf. Segala kekurangan
dalam penyusunan Makalah ini sangat kami rasakan, kesempurnaan yang
seutuh-utuhnya hanya milik Allah Swt, yang tak pernah salah dan khilaf, dan
Dialah yang Maha Luas Ilmu-Nya. Wa akhiru da’wana wal
hamdulillahirobbil‘alamin.
PENYUSUN MAKALAH
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.
Ag. Drs. Maman Abd. Djalil, Ilmu Tasawuf, (Bandung:
CV.PUSTAKA SETIA, 2000), h. 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22 s/d 26.
Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), h. 56
http://athos666.multiply.com/journal/item/13/Sejarah_Tasawuf
http://forum.dudung.net/index.php?topic=1616.0;wap
www.tasawufislam.blogspot.com
No comments:
Post a Comment