Belajar Dari
Saudi
Ditulis oleh Herif De Rifhara
Mahasiswa S.2 UIN Suska Riau
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Lulus 2015
Sudah
dipublikasikan di Riau Pos 6 Februari 2015
Berita duka datang dari kerajaan Saudi, yaitu raja ke-6 dari
kerajaan Saudi, Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud, wafat pada Jumat (23/1),
disebabkan penyakit radang paru-paru. Pengganti raja Abdullah ialah raja Salman
bin Abdul Aziz Al Saud yang ternyata bukan anak dari raja Abdullah melainkan
saudaranya, selanjutnya raja Salman menunjuk Murqin, saudaranya sebagai
penerus. Hal ini pun membantah anggapan, bahwa Saudi adalah kerajaan Monarki
Absolut (turun temurun).
Nabi tidak pernah mewasiatkan kepada siapapun tentang penerus
kepemimpinan setelahnya, karena tidak ada wasiat, para sahabatpun melakukan
musyawarah untuk menentukan pengganti Nabi dan musyawarah itu terjadi di
Saqifah Bani Saidah tempat kaum Ansar berkumpul. Hasil musyawarah memutuskan,
Abu Bakar sebagai pengganti Nabi, yang sebelumnya telah terjadi perdebatan yang
sangat alot.
Abu Bakar memerintah selama dua tahun, sebelum ia wafat
tersebab sakit, ia mewasiatkan kepada para sahabat agar Umar bin Khattab
dijadikan sebagai pengganti dirinya, karena kekhawatiran Abu Bakar akan
terulangnya perselisihan, seperti kejadian di Saqifah. Kemudian, Umar bin Khattab
memerintah selama 10 tahun, sebelum ia wafat, ia diminta oleh para sahabat agar
berwasiat untuk menetapkan penggantinya. Salah satu sahabat mengusulkan agar
Abdullah bin Umar anak dari Umar bin Khattab diwasiatkan sebagai pengganti
Umar, tetapi usulan itu ditolak Umar. Kemudian, Umar menyebut nama Ali bin Abi
Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah, Sa’ad, Abdurrahman bin Auf, dan sebagai
saksi adalah Abdullah bin Umar. Keenam orang inilah yang bermusyawarah untuk
menentukan pengganti Umar, musyawarah tersebut berjalan lancar, disepakatilah
Utsman bin Affan sebagai pengganti Umar. Utsman bin Affan memimpin selama 12
tahun. Setelah ia wafat, para sahabat terkemuka (Ansar dan Muhajirin) meminta
dengan segera agar Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin yang menggantikan
Utsman. Ali bin Abi Thalibpun memimpin selama lima tahun.
Setelah Ali wafat sahabat dan murid-murid Ali mengangkat
Hasan bin Ali sebagai penerus kepemimpinan. Namun, Hasan menyerahkan
kepemimpinan kepada Muawiyah, setelah itu Muawiyah mewasiatkan kepada anaknya,
Yazid. Setelah Yazid wafat secara tiba-tiba dan tidak adanya wasiat, terjadilah
dualisme kepemimpinan, rakyat di Provinsi Syam mendukung Marwan bin Hakam,
sedangkan rakyat di Provinsi Hijaz mendukung Abdullah bin Zubair cucu dari Abu
Bakar. Kedua tokoh ini tidak ada hubungan lagi dengan Muawiyah dan Yazid.
Dari sejarah di atas, menunjukkan sistem pemerintahan dalam
Islam bukanlah menganut sistem monarki absolut, bukan pula menganut sistem
Demokrasi, melainkan sistem pemerintahan dalam Islam adalah wasiat. Jika tidak
ada wasiat, maka para tokoh rakyat akan melakukan musyawarah, walaupun hal ini
yang melakukannya adalah para sahabat, akan tetapi, Rasulullah SAW bersabda
“Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan para khulafaurrasyidin”
(HR Abu Dawud).***
No comments:
Post a Comment