Sunday, February 24, 2019

Sastra Dan Islam


Sastra Dan Islam
Ditulis oleh Herif De Rifhara
Mahasiswa S.2 UIN Suska Riau
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Lulus 2015

Sudah dipublikasikan di Riau Pos 6 Maret 2015


Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah. Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?. Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (Q.S asy-Syu‘araa’ [26]: 224-227)
Ayat di atas membahas tentang syair. Syair yang dimaksud bukanlah sebuah lirik yang disenandungkan atau dinyanyikan, akan tetapi sebuah fiksi yang dikarang berdasarkan imajinasi. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang membuat syair disebut penyair, tetapi syair di Nusantara saat ini disebut sastra, pelakunya disebut sastrawan, kata ini diambil dari bahasa sansekerta. Makna sastra sama seperti yang dimaksud Al-Quran tentang syair, yaitu karya fiksi (hasil imajinasi yang disajikan dalam bentuk cerita rekaan).
Para penyair adalah orang-orang yang diikuti oleh setan. Sebab, penyair selalu berhubungan dengan perenungan yang dalam. Ketika manusia mulai merenung apa yang dipikirkannya, disanalah kesempatan setan untuk membisikkan kesesatan. Dari perenungan tersebut akan melahirkan fiksi yang menyesatkan manusia, selanjutnya para penyair yang diikuti setan, akan mengatakan bahwa fiksi yang mereka buat adalah wahyu dari tuhan, sebagaimana yang telah difirmankan Allah swt: Dan apabila dikatakan kepada mereka “Apakah yang telah diturunkan Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Dongeng-dongengan orang-orang dahulu”, (ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat,... (Q.S Al-Nahl [16]: 24-25).
Q.S Asy-Syu‘araa’ [26]: 224-227 di atas, walaupun menjelaskan bahwa para penyair diikuti setan, namun ayat ini menegaskan lagi dengan mengatakan “kecuali orang-orang yang beriman” yang dimaksud sebagai “orang-orang beriman” dalam ayat ini adalah penyair-penyair yang beriman, membuat fiksi untuk menumbuhkembangkan semangat tauhid dan akhlak mulia. Penyair-penyair yang beriman akan mendukung al-Quran dan hadis melalui tokoh-tokoh fiksi yang dibuatnya. Dan mereka tidak akan pernah mengatakan bahwa karya fiksi yang ditulis itu adalah wahyu dari tuhan, melainkan hanya bagian dari budaya.
Jika sastra dilihat dari bahasa Arab, kata sastra disebut Adab pelakunya disebut adiib. Kata ini juga memiliki arti, Adab: “Pendidikan”, Adiib: “pendidik”. Dengan demikian, Q.S Asy-Syu‘araa’ [26]: 224-227 di atas, menunujukkan bahwa, sastra mempunyai andil dalam pendidikan Islam, karena hakikat dari tujuan pendidikan Islam adalah membentuk perilaku akhlak mulia. Terlihat disetiap karya-karya sastra yang dilahirkan oleh penyair-penyair yang beriman saat ini, tersisip nilai-nilai pendidikan.
Karya-karya sastra yang memiliki ruh pendidikan Islam tampak di dalam karya-karya yang ditulis oleh Buya Hamka, Taufik Ismail, Habiburrahman El Shirazy, Ahmad Fuadi dan Abidah El Khalieqy dengan karya-karyanya yang membahas tentang permasalahan-permasalahan perempuan perspektif Islam.
Terakhir saya akan mengutip Mursal Esten (1987) dalam bukunya Kritik Sastra Indonesia: 17, mengatakan: Sastra dijadikan sebagai media untuk menyampaikan ide-ide, pikiran-pikiran dan pandangan-pandangan tentang pendidikan.***

No comments:

Post a Comment