Nak, Teruskan Perjuangan Abah!
(Telaah Buku Ombak Sekanak, Otobiografi Rida K
Liamsi, Perspektif Pendidikan Islam)
Sudah diterbitkan di Riau Pos 4 Desember 2014
Ditulis oleh Herif De Rifhara, S.Pd.I, M.Pd.I
“Ayah kaulah yang mengislam orang di sini”
Membaca kutipan di halaman 41 ini membuat bulu roma saya
berdiri sehingga menitikkan air mata, sampai-sampai saya merasa iri akan sepak
terjang seorang pendakwah yang sengaja menyusup masuk untuk menjadi pegawai Belanda
yaitu menjadi penjaga mercusuar.
Sebagai penjaga mercusuar, Abdul Kadir Bin Samad ayahanda
tercinta Rida K Liamsi atau Ismail Kadir ini memanfaatkan pekerjaan yang
diterimanya dari Pemerintahan Hindia Belanda waktu itu, untuk berdakwah di
Midai, Subi, Temiang, Muci, Gentar, Telunjuk, sampai ke Alang Tiga, pulau-pulau
yang terdapat mercusuar-mercusuar di Provinsi Riau Kepulauan. Tidak hanya mengajarkan Islam dan
menjadi Tuan Kadi, ia selalu memasukkan pikiran-pikiran kritisnya kepada
anggota masyarakat untuk melawan setiap kebatilan. Sehingga namanya pun
terkenal ke seluruh pelosok di sekitar tempat ia bekerja. Tapi apalah daya, memanglah benar, apa yang dikatakan
oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah di dalam bukunya Fawaid Al-Fawaid yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 2012 dengan judul “Meraih Faedah
Ilmu” halaman 169 bahwa, “Barangsiapa yang beriman kepada para Rasul dan
menaati mereka maka manusia akan memusuhinya dan menyakitinya.”
Menaati para Rasul saja, maka manusia-manusia yang tidak suka
pada kebenaran akan membencinya, apalagi menyiarkan atau menyampaikan pesan
Allah dan Rasul-Nya kepada seluruh manusia. Sepak terjang sang penolong agama
Allah ini pun akhirnya tercium oleh Belanda, ia dipecat tanpa alasan.
Ketakutan Belanda akan kembalinya semangat jihad yang sudah
lama terpendam adalah alasan terkuat pemecatan itu. Mendengar berita pemecatan yang
dilakukan oleh Belanda tanpa alasan yang jelas, Batin Hasan seorang kepala
kampung di Bakong, sebuah kampung di pulau terpencil yang tidak terdeteksi oleh
peta dan mungkin satelit sekalipun, meminta Abdul Kadir untuk tinggal di
Bakong, dan permintaan itupun dituruti oleh Abdul Kadir. Inilah mungkin yang dimaksud firman
Allah yang berbunyi: “Dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya
dan rasul-rasul-Nya. Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS Al Hadid: 25).
Abdul Kadir Bin Samad telah menunjukkan kesungguhan itu. Dan
Allah Yang Maha Penolong, menolongnya melalui tangan Batin Hasan. Ayat ini, menjelaskan bahwa, Allah
ingin melihat keteguhan seorang hamba yang bernama Abdul Kadir dengan cara ia
dipecat dari pekerjaannya dan juga seolah-olah Allah SWT memerintahkan Abdul
Kadir untuk berdakwa di Bakong. Dipecat dari pekerjaan, tidak membuat diri
Abdul Kadir mundur dari dunia dakwah dan mengembangkan pendidikan Islam di
tanah yang dikelilingi laut.
“Tapi ayahku tergoda dengan bujuk rayu Batin Hasan, apalagi
ke Bakong itu ada mimpi ideal yang memenuhi hatinya. Dakwah! Kononnya” (Rida K
Liamsi: 31).
Sama sekali tidak, tidak ada kata konon bagi para pendakwah
sejati, apalagi setetes suraupun yang bisa menjadi ikon pendidikan Islam belum
berdiri di pulau yang dikelilingi ombak ketika itu.
Memilih Tanah Sekanak atau Bakong daerah yang terisolir di
Riau Kepulauan untuk menegakkan panji-panji Islam dan mencari keridaan Allah
serta pertolongan-Nya, merupakan tantangan bagi para pendakwah yang benar-benar
telah menyerahkan dirinya kepada Allah SWT, untuk membuktikan keimanannya
kepada Allah.
Apa yang dilakukan oleh Abdul Kadir Bin Samad di Bakong
yakni, mengislamkan orang yang belum menjadi Islam adalah hal luar biasa yang
selalu diimpi-impikan oleh setiap para dai. Oleh karena itu, saya merasa iri
dengan sepak terjang Abdul Kadir, dan membuat saya berpikir dan berfantasi
“andai Abdul Kadir bin Samad adalah ayah atau datuk saya.” Dan pantaslah bagi Abdul Kadir
dijadikan sebagai lambang pengislamisasian di tanah Bakong yang di kelilingi
ombak sekanak. Atau menjadi sebuah catatan sejarah Islam yang ditulis di
buku-buku sejarah Islam Kepri sebagai penyebar Islam di Bakong. Dan ia telah
menorehkan tinta emas dalam perjalanan sejarah Islam.
Tidak hanya mengislamkan orang yang belum menjadi Islam,
mengislamkan orang yang sudah menjadi Islampun dilakukan oleh Abdul Kadir di
Bakong. Tugas inilah yang paling sulit yang dialami oleh setiap para pendakwah.
Banyak orang yang sudah menyatakan dirinya Islam, tapi belum paham dengan hukum
Islam dan bahkan huruf-huruf Hijaiyah pun belum mereka kenal sama sekali. Seperti halnya ketika ayahanda Rida
K Liamsi ini berdebat dengan pemungut pajak: “Cakap dengan Amir (maksudnya Pak
Camat), jangan pungut blasting di sini. Kami semua miskin. Makan saja susah.
Harga getah murah. Blasting ini dibayar, kalau orang kampung mampu. Zakat
Fitrah dalam Islam juga begitu. Jadi, bebaskan saja,” teriaknya.” (Rida K
Liamsi: 32).
Tidak ada penjelasan pada masa apa kejadian itu terjadi,
entah masih pada masa penjajahan Belanda atau RI sudah merdeka. Kalaupun masih
di masa penjajahan Belanda maka tidaklah mengherankan, karena bagaimanapun para
penjajah hendak menguras kekayaan dan tenaga bangsa yang dijajahnya. Jika kejadian itu sudah memasuki
priode kemerdekaan RI, maka saya teringat pada zaman Khalifah Umar Bin Abdul
Aziz, rakyat Umayah dibebaskan dari pajak, padahal di masa Umar Bin Abdul Aziz
adalah masa-masa kejayaan. Sedangkan di negeri ini ternyata semenjak memasuki
kemerdekaan, masa sulitpun (paceklik) dimintai pajak. Dan pada masa kini pun,
pajak itu bukannya sampai ke kas negara, melainkan pajak malah menjadi lahannya
para koruptor.
Inilah yang harus diislamkan oleh para pendakwah, inilah yang
saya sebut “mengislamkan orang yang sudah menjadi Islam”. Karena yang
melakukan pencurian itu bukan umat lain melainkan sebagian umat Islam yang
mengaku sudah Islam. Dan seharusnya orang yang telah mengaku sebagai Islam,
haram baginya mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
Nyaris
Tak Pernah Sakit
Pertolongan Allah kepada Abdul Kadir yang lain adalah “nyaris
tak pernah sakit”. Allah memberikan nikmat kesehatan bagi orang yang berjihad
di jalan Allah, walau hidup sederhana.
Tidak hanya Nabi Muhammad SAW, para ulama-ulama penerus Nabi
pun, kalimat inilah yang cocok untuk mereka “nyaris tak pernah sakit” terkadang
“tidak ada sakit sedikit pun.” Inilah pertolongan Allah, sebagaimna yang
difirmankan-Nya: “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong
(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,” (QS
Al Hajj : 40).
Allah yang membuat para pendakwah yang sebenarnya sebagai
orang-orang yang meneruskan perjuangan Rasulullah SAW, mendapatkan
pertolongan yakni diberi kesehatan sampai akhir hayat.
“Il, kau sudah sembahyang?”
“Kan sudah belajar mengaji, sudah belajar sembahyang. Ya,
sembahyanglah. Kalau belum sembahyang, belum Islam namanya.” (Rida K Liamsi:
34).
Teguran seorang ayah kepada anak ini merupakan penyampaian
pendidikan melalui keluarga. Ki Hajar Dewantara menjelaskan mengenai tri pusat
pendidikan bahwa, pendidikan dapat disampaikan kepada anak didik melalui tiga
lembaga, yakni; keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakatnya.
Ketiga lembaga ini mempunyai hubungan yang saling terkait
antara satu sama lainnya yaitu, keluarga sebagai pengembangan pendidikan
pertama. Setelah itu, menyerahkan anaknya ke sekolah yang bisa dipercayai, agar
seorang anak bisa lebih lanjut mempelajari sebuah nilai-nilai ketakwaan dan
moralitas yang pada akhirnya sekolah menghasilkan out put atau keluaran.
Keluaran di sini maksudnya siswa-siswa yang dapat diandalkan
di tengah masyarakat dan nantinya siswa-siwa tersebut kembali lagi kepada
lembaga keluarga dan melahirkan generasi selanjutnya. Dan saya menyebut ini
sebagai siklus pendidikan.
Pendidikan yang dilakukan oleh Abdul Kadir tidak lain
mengembangkan sikap afektif (sikap akhlak) terhadap Allah SWT. Sehingga
dalam diri anaknya dapat terlaksana perintah-perintah Allah yang di laksanakan
dalam bentuk psikomotorik (gerakan anggota badan). Namun sebelumnya, Abdul
Kadir mengembangkan kognitif (pengetahuan/intelektual) kepada anaknya, tentang
orang-orang yang masih meninggalkan salat, yakni beliau mengatakan “kalau belum
salat, belum Islam namanya.” Dan inilah bentuk usaha yang dilakukan oleh Abdul
Kadir bin Samad terhadap anaknya.
Sebagaimana pengertian pendidikan itu sendiri, bahwa
pendidikan adalah usaha bimbingan yang dilakukan oleh manusia yang telah matang
kepribadiannya terhadap manusia yang belum sempurna kepribadiannya, agar dalam
diri manusia yang belum sempurna tersebut, memiliki nilai-nilai moralitas dari
pengetahuan yang ia dapatkan dari manusia yang membimbingnya.
“Il, kau sudah sembahyang?” kalimat yang
terdapat pada halaman 34 ini, Rida K Liamsi mejelaskan bahwa pertama kalinya,
ayahnya berbicara kepada Rida K Liamsi. Karena
kali pertamanya Abdul Kadir berbicara kepada anaknya ini, saya menafsirkan
kalimat ini yakni, ada pesan yang tersirat dari sang ayah kepada anaknya.
Tersebab setiap orangtua memiliki cita-cita penting di mana sang anak lah yang
mungkin bisa melaksanakan cita-cita tersebut. Ketika sang ayah merasa tidak
sanggup untuk menjalankan apa yang dicita-citakannya.
Kemungkinan ada doa yang menjadi harapan dari sang ayah untuk
anaknya, Rida K Liamsi sebagai pelanjut apa yang diusahakan ayahnya. Apalagi
ayahanda tercinta Rida K Liamsi ini adalah seorang pendakwah di pulau yang di
keliling ombak Sekanak. Dan setiap para dai dan orang saleh selalu memiliki
cita-cita terhadap anaknya.
Sebagaimana yang terjadi pada Imam Ghazali, ayahnya Imam
Ghazali selalu berdoa kepada Allah SWT, setiap kali ayanya melihat seorang dai,
sehingga doa yang dilantunkan adalah “Ya Allah jadikanlah anakku seperti dai
ini” maka Allah mengabulkan doa ayahnya Imam Ghazali dan melahirkan Ghazali
yang ayahnya cita-citakan. Padahal ayahnya Imam Ghazali tersebut, hidup dalam
kemiskinan. Ayahnya Imam Ghazali, hanya meminta seorang anak yang bisa menjadi
ulama atau setidaknya seorang anak yang bisa menyumbang untuk Islam. sehingga
nama anaknya tercatat sebagai orang-orang pilihan di sisi Allah SWT. Ketika seorang anak telah menjadi orang-orang pilihan
di sisi Allah SWT. Maka pahala yang dihasilkan oleh anak tersebut akan mengalir
kepada kedua orang tuanya. Sebagaimana hadis Nabi yang menjelaskan: “Apabila
manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali tiga perkara: sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya (mendoakan kedua
orang tuanya)”. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i)
Pertama,
sedekah jariyah merupakan sedekah seperti membangun masjid, sekolah dan
fasilitas yang bisa orang-orang rasakan manfaatnya atau hanya sekadar sedikit
untuk bersedekah kepada fasilitas tersebut. Ketika orang-orang merasakan
manfaat dari apa yang disedekahkan tersebut atau selama orang-orang yang
memakai apa yang disedekahkan itu, maka pahala akan terus mengalir kepada orang
yang telah menyedekahkan pembangunan itu.
Kedua,
ilmu yang bermanfaat adalah guru-guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepada
anak didiknya. Ketika ilmu pengetahuan itu dilaksanakan atau diamalkan anak
didiknya maka pahala akan mengalir kepada guru yang mengajarkan ilmu tersebut.
Seperti contoh, ketika seorang guru mengajar membaca Alquran kepada seorang
murid, maka tiap kali murid tersebut membaca Alquran maka pahala tidak hanya
didapati oleh murid tersebut, akan tetapi pahala membaca al-quran juga akan
mengalir kepada gurunya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa keluarga
adalah lembaga pertama dalam membimbing manusia, maka guru pertama adalah sang
ayah dan muridnya adalah anak kandungnya sendiri.
Ketiga,
doa anak yang saleh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. Doa tidak
hanya dilantunkan ketika seorang anak melaksanakan salat lima waktu, akan
tetapi doa bisa di mana saja dan kapan saja.
Makna doa anak yang saleh tidak hanya bermakna doa yang
dilantunkan, akan tetapi anak-anak yang senantiasa melakukan kebaikan, apakah
itu kebaikan berupa sedekah jariyah, mengajar seorang murid, dan melaksanakan
perintah-perintah Allah yang wajib, seperti salat, berpuasa, berzakat dan pergi
haji.
Maka tiap kali ia melakukan kebaikan-kebaikan tersebut, pahala akan mengalir kepada orang tuanya dan hal tersebut termasuk doa anak kepada orang tuanya. Tersebab, pertama kali yang membimbing dan membiayai seorang anak untuk mengeyam pendidikan adalah lembaga keluarga.
Maka tiap kali ia melakukan kebaikan-kebaikan tersebut, pahala akan mengalir kepada orang tuanya dan hal tersebut termasuk doa anak kepada orang tuanya. Tersebab, pertama kali yang membimbing dan membiayai seorang anak untuk mengeyam pendidikan adalah lembaga keluarga.
Makna orangtua tidak hanya sebatas orang tua di rumah tetapi
guru yang ada di sekolah juga merupakan bagian dari orang tua. Artinya seorang
anak didik apabila melakukan kebaikan-kebaikan maka pahala tidak hanya mengalir
kepada ayah dan ibunya sebagai guru pertama, akan tetapi pahala tersebut juga
akan mengalir kepada guru-guru di sekolah yang mengajarinya. Dengan demikian seorang ayah yang
saleh yang telah membimbing anaknya, berharap anaknya menjadi orang-orang
pilihan di sisi Allah SWT, untuk meneruskan apa yang dicita-citakan seorang
ayah. Cita-cita yang tidak dapat dilaksanakan oleh seorang ayah karena
keterbatasan. Apakah keterbatasan yang berbentuk ilmu yang banyak atau
keterbatasan uang untuk bisa membangun dan mengembangkan pendidikan Islam.
Walaupun
memang dijelaskan dalam buku yang ditulis Rida K Liamsi ini bahwa, ketika Adul
Kadir bin Samad telah berada di Pulau Bakong maka suraupun berdiri, namun
cita-cita itu tidak hanya sebatas surau. Surau yang merupakan sebagai cikal
bakal dari masjid. Tetapi ada cita-cita yang lebih besar yakni berdirinya
sebuah media yang bisa berpengaruh lebih luas lagi terhadap perkembangan
pendidikan Islam yakni, pesantren ataupun sebuah madrasah ataupun sebuah
sekolah Islam terpadu. Karena hal inilah yang membuat saya memaknai kalimat
“Il, kau sudah sembahyang?” tidak lain bermakna “Nak,
Teruskan Perjuangan Abah!” dengan demikian janji Allah akan terlaksana
sebagaimana yang difirmankan: “Hai orang orang yang
beriman, jika kamu menolong (agama) Allah,
niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu” (QS Muhammad : 7).***
No comments:
Post a Comment