MATA KULIAH:
Ayat-Ayat Hukum Keluarga
Makalah:
Mahram
DISUSUN OLEH:
ARISMAN
diedit oleh:
Herif De Rifhara,
Bagian Sub Judul
Nikah Sesuku dan Penyakit 'Ain
JURUSAN HUKUM ISLAM
KONSENTRASI S3
HUKUM KELUARGA
PROGRAM PASCA
SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF
KASIM RIAU
PEKANBARU
2016
Pendahuluan
Mahram[1] merupakan
masalah penting dalam Islam ia memiliki beberapa pengaruh dalam tingkah laku,
hukum-hukum halal atau haram. selain itu juga, mahram merupakan
kebijakan Allah Swt dan kesempurnaan agama-Nya yang mengatur segala kehidupan.
Untuk itu, seharusnya kita mengetahui siapa-siapa saja yang termasuk mahram dan
hal-hal yang terkait dengan mahram.
Banyak
sekali hukum tentang pergaulan wanita muslimah yang berkaitan erat dengan
masalah mahram, jika diteliti bersama, fenomena hari ini sangat
memilukan, disebabkan ketidak tahuan sebagian wanita muslimah secara pasti,
siapa saja yang menjadi mahramnya, sehingga berimplikasi (berdampak) pada
hukum-hukum Islam seperti hukum safar, khalwat (berdua-duaan),
pernikahan, perwalian dan lain-lain.[2]
Ironisnya,
masih banyak dari kalangan kaum Muslimin yang belum memahaminya. Sehingga
mereka menganggap permasalahan ini adalah permasalahan yang biasa, padahal jika
hal ini dibiarkan begitu saja akan menambah terjadinya kemaksiatan yang
terkadang berujung pada perzinahan.
Selain
itu masalah mahram ini juga
merambah kepada nikah sesuku. Permasalahannya kemudian adalah apakah nikah
sesuku tersebut termasuk penentangan terhadap aturan mahram atau tidak.
Perbincangan ini terus bergulir hingga memunculkan kelompok-kelompok yang
menentang dan bahkan menganggap bid’ah para pendukung larangan nikah sesuku.
Dan
dari tema inilah, penulis berusaha mencoba mengangkat dan membahas permasalahan
tersebut agar menjadi Bashirah (pelita) dan bahan diskusi bagi kita bersama.
PEMBAHASAN
A.
Ayat-Ayat Yang
Berbicara Tentang Mahram[3]
Ada beberapa ayat yang
menjelaskan tentang mahram, di antaranya adalah:
Ayat pertama: Surah An-Nisa: 22
وَلَا
تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُڪُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۚ
إِنَّهُ ۥ ڪَانَ فَـٰحِشَةً۬ وَمَقۡتً۬ا وَسَآءَ سَبِيلاً (٢٢)
Dan janganlah
kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa
yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Ayat kedua: Surah An-Nisa:
23-24
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡڪُمۡ أُمَّهَـٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٲتُڪُمۡ وَعَمَّـٰتُكُمۡ
وَخَـٰلَـٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَـٰتُڪُمُ
ٱلَّـٰتِىٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٲتُڪُم مِّنَ ٱلرَّضَـٰعَةِ وَأُمَّهَـٰتُ
نِسَآٮِٕكُمۡ وَرَبَـٰٓٮِٕبُڪُمُ ٱلَّـٰتِى فِى حُجُورِڪُم مِّن نِّسَآٮِٕكُمُ
ٱلَّـٰتِى دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيۡڪُمۡ وَحَلَـٰٓٮِٕلُ أَبۡنَآٮِٕڪُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَـٰبِڪُمۡ
وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ
كَانَ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا (٢٣)۞
وَٱلۡمُحۡصَنَـٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُڪُمۡۖ
كِتَـٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٲلِڪُمۡ أَن
تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٲلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَـٰفِحِينَۚ فَمَا
ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡہُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً۬ۚ وَلَا
جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٲضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِۚ إِنَّ
ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمً۬ا (٢٤)
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang
telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
B. Penjelasan Beberapa
Kata[4]
سلف : yang telah lalu, yaitu
orang-orang yang terdahulu dari kalangan orang tua dan karib
dan karib kerabat.
فاحشة : Menurut bahasa yaitu: النهاية فى القبح
(Puncaknya kejelekan dalam arti sangat jelek).
Disebut dengan Fahisyah, karena
merupakan puncak dari kejelekan.
مقتا :
artinya asal dari maqta adalah kebencian, yaitu sesuatu yang
tidak
disenangi/dibenci menurut rasio sehat.
ساء سبيلا
: Cara/jalan yang
keji dan tercela yang biasa mereka tempuh pada masa jahiliyah
ربائبكم : Bentuk plural/jamak dari ربيبة , yaitu anak perempuan dari suami yang lain
(anak
tiri). Dinamai dengan rabaib karena
suami mendidik dan membesarkannya.
حلائل :
Yaitu istri-istri dan ia merupakan bentuk
plural dari kata
حليلة , dinamai
demikian
Karena
kedua suami istri tersebut menjadi hala satu sama lain.
المحصنات : Kata-kata
ihsan atau yang seakar kata dengan itu, pengertian dalam al-Quran
tidak
lebih
dari 4 arti: al-Tazawwuj, al-Islam, al-‘Iffah dan al-Hurriyah. Tetapi, maksud
dalam
ayat ini adalah perempuan-perempuan yang memiliki suami.
محصنين : yaitu orang-orang yang
bersih dari perbuatan keji dan mesum.
مسافحين : al-sifah wa
al-musafaahat artinya adalah orang yang berbuat dosa dan kesalahan,
secara etimologi kata ini
mempunyai arti mengalirkan/menumpahkan,
karena
tujuan
orang yang berszina tiada lain adalah menumpahkan sperma.
C. Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Tentang Mahram
Surat An-Nisa: 22[5]
Dikemukan oleh Ibnu Abi Hatim, Al-Farabi dan Ath-Thabrani yang bersumber
dari ‘Adiy bin Tsabit dari seseorang laki-laki Anshar. Seorang laki-laki Anshar
itu berkata: Abu Qais bin Aslat yang termasuk orang saleh Anshar
meninggal dunia. Lalu anak laki-lakinya meminang istrinya. Maka berkata istri Qais itu: “Aku anggap kamu
anakku dan termasuk dari kaummu yang saleh.” Lalu perempuan itu datang
menghadap Nabi Saw untuk menerangkan kejadiannya tadi. Maka Nabi memerintahkan
untuk kembali ke rumah. Lalu turunlah ayat ini sebagai mengenai ketentuan
larangan mengawini ibu tiri.”
Dikemukakan oleh Ibnu Said yang bersumber dari Muhammad bin Ka’ib
al-Qarzhi. Muhammad berkata: “Apabila seorang laki-laki meninggal dunia yang
meninggalkan isteri, maka anak laki-lakinya lebih berhak terhadap ibu tirinya,
hendaknya ia kawin atau ia kawinkan dengan orang lain terserah.”
Dikemukakan pula oleh Ibnu Sa’id yang bersumber dari al-Zuhri. Al-Zuhri
berkata: “ayat ini diturunkan mengenai orang-orang Anshar yang apabila ada seseorang laki-laki meninggal dunia, maka
walinya lebih berhak memiliki isterinya dan menguasai hingga isteri yang
meninggal dunia itu wafat.”
Surat An-Nisa: 23-24[6]
Dikemukan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraj, Ibnu Juraij
berkata: “Saya bertanya kepada ‘Atha’ mengenai wa halaailu abnaaikum
alladziina min ashlaabikum, dia menjawab: Kami pernah memperbincangkan,
bahwa ayat itu diturunkan mengenai Nabi Muhammad Saw ketika menikahi isteri
Zaid bin Haritsah (Zainab binti Jahsy). Orang-orang musyrik berkata yang
tidak-tidak. Maka turunlah ayat wa halaailu abnaaikum alladziina min
ashlaabikum, dan turunlah pula 2
ayat yaitu surat al-ahzab: 4 dan surat al-ahzab: 40.[7]
Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Nasa-i yang
bersumber dari Abi Sa’id al-Khudri berkata: Kami (para sahabat) mendapatkan
beberapa tawanan perempuan yang sudah bersuami dari peperangan Authas. Mereka enggan digauli oleh yang berhak
terhadap tawanan itu. Lalu kami bertanya kepada Nabi Saw, maka turunlah ayat wa al-muhshaanaat min al-nisaa-i ilaa maa
malakat aimanukum. Nabi Saw bersabda: “...... kecuali harta rampasan yang
diberikan Allah kepada kalian, maka halal bagi kita kemaluan-kemaluan mereka.”
Dikemukakan oleh at-Thabrani yang bersumber dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata:
ayat itu diturunkan pada waktu perang Hunain, ketika Alla memberikan kemengan kepada
orang-orang Islam dan mendapatkan tawanan beberapa orang perempuan ahli kitab yang
sudah bersuami. Ada seorang laki-laki (muslim) apabila hendak menggauli seorang
perempuan dari tawanan tersebut, perempuan itu selalu enggan dan berkata:
“Sesungguhnya saya sudah bersuami”. Lalu bertanyalah ia kepada Rasulullah Saw
mengenai hal tersebut. Maka turunlah ayat wa al-muhshaanaat min al-nisaa-i sampai akhir ayat.
Firman Allah Swt wa laa junahaa
‘alaikum fimaa taraadhaitum bihii min ba’di al-faridhah. Dikemukakan oleh
Ibnu Jarir yang bersumber dari Ma’mar bin Sulaiman dari bapaknya. Bapak Jarir
berkata: Orang Hadharamy menganggap bahwa orang laki-laki dibebani membayar
mahar dengan harapan dapat memberatkannya (sampai tidak dapat membayar tepat
pada waktunya untuk mendapatkan tambahan pembayaran). Maka turunlah ayat wa
laa junahaa ‘alaikum fimaa taraadhaitum bihii min ba’di al-faridhah.
D. Pendapat Ulama
Dalam tulisan ini penulis hanya memaparkan beberapa pendapat para ahli
yang berkaitan dengan surat an-Nisa: 22-24.
Imam al-Qurtubi, ketika mengomentari ayat 22. Menyebutkan bahwa
mengawini isteri bekas ayah (ibu tiri) adalah merupakan sebuah tradisi dan kebiasaan
bagi sebagian kabilah-kabilah Arab pada masa Jahiliyah, di mana mereka sering
menggauli dan mengambil alih isteri-isteri bekas ayahnya, setelah ayah tersebut
meninggal dunia, hingga memmpunyai anak yang diberi nama Musafir dan Abu Mu’ith,
begitu pula Sofwan bin Umayyah bin Khallaf yang mengambil istri bekas ayahnya,
yaitu Fatihah binti al-Aswad bin al-Muthalib bin Asad.[8]
Kemudian Allah menurunkan ayat ini
sebagai larangan untuk mengulangi perebuatan tersebut, hingga ia
dianggap sebagai فاحشة dan مقتا yaitu perbuatan yang
sangat jelek dan tidak disenangi. Kecuali perbuatan itu dilakukan pada lalu,
hal ini akan diampuni oleh Allah dan tidak akan disiksa.[9]
Mufassir Kabir Imam al-Razi ketika menafsirkan ayat:
إنّهُٰ كَانَ فٰحِشَةً وَمَقْتاً وَسَآءَ سَبِيْلاً
Menyatakan bahwa القبح (kejelekan) ada 3 macam dan
tingkatan yaitu, عقلي, شرعي, dan عادي. Larangan dalam menikahi
isteri-isteri bekas ayah, terkumpul ketiga tingkatan kejelekan tersebut, yang
dalam hal ini menandakan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yanga
sangat keras sekali dilarang oleh Allah Swt. Kejelekan tersebut adalah:
·
فٰحِشَةً adalah قبح العقلي
·
مَقْتاً adalah قبح الشرعي
·
سآء adalah قبح العادي
Apabila
ketiga kejelekan tersebut telah terkumpul menjadi satu dalam sebuah kegiatan, maka
perebuatan tersebut menunjukkan kejelekan luar biasa.[10]
Menurut
tafsir Fii Zhilalil Quran Sayyid
Qutub dikatakan, bahwa perempuan yang haram dinikahi itu sudah terkenal (masyhur) pada semua umat,
baik yang masih konservatif maupun yang sudah maju.[11]
Perempuan-perempuan
yang haram dinikahi menurut Islam adalah gologan perempuan yang dijelaskan di
dalam surat an-Nisa: 22-24. Sebagiannya diharamkan untuk selamanya (Yakni, selamanya tidak boleh dinikahi) dan
sebagiannya diharamkan dinikahi dalam kurun waktu tertentu.[12]
Hukum
diharamkannya menikahi perempuan untuk selamanya terbagi menjadi beberapa
bagian. Sebagian disebabkan karena hubungan nasab, sebagian disebabkan hubungan
persusuan dan sebagiannya disebabkan hubungan mushaharah (perbesanan).[13]
Mahram
karena hubungan nasab menurut syari’at Islam ada 4 tingkatan; Pertama,
ushul, yakni yang menurunkan dia terus ke atas. Kedua, cabang
(keturunan) ke bawah. Ketiga, keturunan dari kedua orang tua terus ke
bawah. Keempat, keturunan langsung dari kakek neneknya.
Keturunan
yang tidak langsung dari kakek-nenek halal dinikahi. Oleh karena itu,
dihalalkan menikah antara anak-anak paman dengan anak-anak bibi.
Adapun
yang diharamkan karena perbesanan itu ada 5, diantaranya:
1.
Bekas isteri ayah
2.
Bekas isteri anak
3.
Ibu dari isteri
4.
Anak dari isteri. Keharaman
ini terjadi apabila lelaki itu telah mencampuri ibunya.[14]
(penjelasan mengenai haramnya mertua dinikahi ada dicatatan kaki no 14 ini,
lihat pojok paling bawah)
5.
Saudara perempuan dari isteri.
Akan tetapi keharamannya ini dalam waktu tertentu, yaitu selama isteri masih
hidup dan menjadi isteri dari lelaki yang bersangkutan.[15]
Juga diharamkan menikah dengan
seseorang karena adanya hubungan persusuan.[16]
Sebagaimana diharamkannya menikahi dengan orang yang ada hubungan nasab dan
perbesanan. Keharaman menikah karena hubungan ini meliputi 9 orang mahram,
yaitu:
1.
Ibu susuan dan ushul-nya
terus ke atas.
2.
Anak perempuan susuan dan
anak-anaknya terus ke bawah.
3.
Saudara perempuan persusuan
dan anak-anaknya terus ke bawah.
4.
Saudara perempuan ayah dan
saudara perempuan ibu sepersusuan.
5.
Ibu susuan dari isteri
6.
Anak susuan isteri
7.
Bekas isteri ayah atau
kakek susuan
8.
Isteri anak susuanya terus ke bawah
9.
Memadu, menghimpun antara
seorang perempuan dengan saudara perempuan sepersusuan atau dengan bibi
sepersusuan isterinya atau perempuan manapun yang punya hubungan kemahraman
dengannya karena persusuan.[17]
Selain hukum diharamkannya
menikahi perempuan untuk selamanya karena berdasarkan mahram, juga ada hukum dilarangnya
menikahi perempuan untuk sementara, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Mengumpulkan 2 saudara
perempuan sekandung dan
2.
Menikahi seorang perempuan
yang sedang dalam ikatan pernikahan atau perempuan yang sedang berada dalam
masa iddah
Hal
ini dapat dilihat firman Allah:
وَحَلَـٰٓٮِٕلُ أَبۡنَآٮِٕڪُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَـٰبِڪُمۡ وَأَن
تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا
dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penggalan ayat ini
menegaskan 2 hal yang haram dikerjakan oleh seorang muslim, yaitu menikahi
istri anak atau menantu dan memadu 2 orang perempuan yang bersaudara kandung. Larangan
dalam ayat ini adalah secara mutlak. Ia tidak menjelaskan syarat apa-apa, baik
menantu itu telah digauli sebelum diceraikan oleh anaknya ataupun belum
digauli. Oleh karena itu ayat tersebut harus pula dipahami secara mutlak. Maka sang ayah tidak boleh menikahi
janda anaknya.
Selanjutnya ayat
ini juga menjelaskan perempuan yang tidak boleh dipoligami oleh seorang
laki-laki yaitu terhadap 2 orang perempuan yang bersaudara, akan tetapi apabila laki-laki tersebut sudah
bercerai dengan istrinya atau istrinya meninggal dunia, maka dia boleh menikahi saudara perempuan dari
pihak mantan istrinya.
C. Nikah
Sesuku dan Penyakit ‘Ain
Adanya
larangan pernikahan sesuku di dalam sebuah adat yang sudah dibangun sejak lama,
mau tidak mau masyarakat harus tunduk pada aturan tersebut. Menjadi sebuah
problem yang saling bertolak belakang, ketika agama membolehkan nikah sesuku,
sementara adat melarangnya.
Dalam
Islam siapa-siapa saja yang diharamkan untuk dinikahi sudah tertuang di dalam
QS. An-Nisa’: 22 s/d 24 dan sama sekali tidak ada menyinggung masalah kesukuan.
Kalaulah istilah sesuku (1 suku) disama artikan dengan sesusuan (1 susuan),
maka ini adalah sesuatu yang keliru. Sebab di dalam QS An-Nisa’: 22 s/d 24 di dalam kosa kata bahasa
Arabnya tidak ada menyebut suku (Qabilah), antara Qabilah yang artinya suku dan
Labbnan yang artinya susu adalah kosa kata yang tidak sama dan tidak mirip sama sekali.
Larangan menikah sesuku ini adalah
larangan adat yang bertentangan dengan al-Quran dan wajib ditinggalkan. Akan
tetapi jika seseorang masih takut untuk melaksanakan nikah sesuku, lebih baik
nikah sesuku ditinggalkan saja, sebab untuk
menghindar dari penyakit ‘Ain, yaitu penyakit yang ditimbulkan dari
pandangan-pandangan mata dengki dari orang-orang yang tidak menyukainya. Pandangan-pandangan
dengki itu akan bisa mengirimkan energi buruk sehingga bisa menimbulkan
penyakit, kecuali dia meminta perlindungan kepada Allah dari penyakit ‘Ain,
sehingga dia yakin untuk melaksanakan nikah sesuku, tanpa memperdulikan
pandangan dengki dari setiap mata yang memandang dengan kedengkian, karena dia telah meyakini Allah telah melindunginya,
sebab dia senantiasa mengucapkan dzikir:
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ
شَيْطَانِ وَ هَامَّةٍ وَ
مِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari godaan
setan, binatang beracung dan dari pengaruh ‘ain yang buruk.” (HR. Bukhari
dalam kitab Ahaditsul Anbiya’: 3120)
Atau dengan doa,
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّتِ مِنْ شَرِّ مَا
خَلَقَ
“Aku berlindung
dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari kejahatan makhluk-Nya.” (HR. Muslim
6818).
Tidak mengherankan jika ada
pendapat yang mengatakan bahwa nikah sesuku itu akan menghasilkan keturunan
yang cacat, dan pernikahan tidak akan berjalan lancar, hal ini disebabkan oleh
penyakit ‘ain yang ditimbulkan tersebut, bukan disebabkan oleh marahnya ruh
leluhur atau disebabkan mitos-mitos yang bertentangan dengan ajaran Islam. oleh
karena itu marilah kita senantiasa berlindung dari penyakit ‘Ain. Rasulullah
Bersabda:
“Pengaruh ‘ain itu benar-benar
ada, seandainya ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, ‘ainlah yang dapat
melakukannya” (HR. Muslim)
Daftar Kepustakaan
Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashal fii ahkamil mar’ati wa
baitil muslim fii syari’ati islamiyyah jilid. 3.
Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jaami’
li Ahkam al-Quran, Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1965, jilid 5.
Abi Bakar Ahmad bin Ali al-Razi al-Jashash, Ahkam
al-Quran, Kairo: Isa al-Bab al-Halabi, tt. J. 10.
Abu Zahra, Ushul Fiqh, Damaskus: Daar al-Fikr.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam,
Yogyakarta: Nurhidayah, 1998.
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsirnal-Maraghi, Kairo:
Musthafa al-Bab al-Halabi, 1974, J. 5.
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Indonesia –
Arab, Surabaya: Pustaka Progressif,
cet. 14, 1997.
Chaerul Uman, at all, Ushul Fiqh 1, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Ibnu Hazm Ad-Dhohiri, Al-Muhalla bil Atsar 2/10, Mustafa
Al-Adhawi Jami’ Ahkamun Nisa’ 3/47.
Imam Jalaludin al-Suyuti, Asbaab al-Nuzul, Beirut: Muassasah
al-Kutub al-Tsaqofiyah, 1422 H.
Muhammad Jamaludin al-Qasimi, Mahaasin al-Ta’wil, T.tp:
Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Jilid. V, 1957.
Muhammad Khasyad, Fiqhu Nisaa’ Fii Wudhuil Madhahibil ‘Arba’ah,
Al-Qohirah: Darul Kutub Al-Mu’asiroh, 1994.
Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986.
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011
Sayyid Qutb, Tafsir Fii Zhilalil Qur’an, Jakarta:
Gema Insani Press, 2001, jilid 2
Syaikh Muhammad Ali Ash-Shobuny, Rowai’ul Bayan Tafsir
Ayat Al-Ahkam min al-Quran, Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyah, t.th, Juz 1
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam
Kajian Kepustakaan), Bandung:
Al-Fabeta, 2009.
[1]
Sekilas mahram dan muhrim terdengar sama di telinga, sehingga
sering kali terjadi kekeliruan dalam memahami antara makna “mahram”
dengan “muhrim”. Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Kalau
muhrim itu artinya orang yang sedang ihram untuk haji dan umrah, sedangkan
mahram adalah orang yang haram bagi seseorang untuk dinikahi. Dan kategori
mahram itu sendiri ada 2 yaitu; mahram dalam artian “yang haram di nikahi” dan
mahram dalam maksud “suami atau istri yang sah yang diikati oleh pernikahan”.
[2]
Yang berkenan tentang hukum wanita dengan mahramnya adalah
-
Tidak boleh menikah, Allah
Swt menjelaskannya di dalam QS. An-Nisa’: 22-23
-
Boleh menjadi wali
pernikahan
-
Tidak boleh safar
(berpergian jauh) kecuali dengan mahramnya. Di antara hadis yang menyebutkan
bahwa perempuan dilarang safar tanpa seorang mahram yaitu
“Dari Abu Said al-Khudri ia
berkata, telah berkata Rasulullah; Tidak halal bagi seorang perempuan yang
beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar lebih dari 3 hari
kecuali bersama ayah, anak laki-laki, suami, saudara laki-laki atau mahranya
yang lain.” (HR. Muslim).
-
Tidak boleh khalwat
(berdua-duaan) kecuali bersama mahramnya
-
Tidak boleh menampakkan
perhiasannya kecuali kepada mahramnya, itupun perhiasan yang sudah dibatasi
dalam artian yang sudah biasa dilihat, bukan bagian yang vital.
-
Tidak boleh berjabat tangan
kecuali dengan mahramnya. (HR Bukhari dan Muslim).
[3]
Dalam kamus al-Munawwir kata مَحْرَمٌ berasal dari kata حَرَمَ – يَحْرُمُ
– حَرَمَا - وَمَحْرَامَا yang
berarti mencegah. Sedangkan مَحْرَمٌ sendiri berarti yang haram atau terlarang.
Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Indonesia – Arab (Surabaya:
Pustaka Progresif, cet. 14, 1997, hlm. 256-257.
Menurut beberapa pendapat, istilah mahram dapat dilihat sebagai
berikut:
a.
Menurut Abdul Barr: Mahram adalah laki-laki yang haram bagi
perempuan karena sebab nasab seperti ayah dan saudara laki-laki kandungnya atau
sebab pernikahan seperti suami, ayah suami (mertua) dan anak laki-laki suami
(anak tiri) atau anak susuan, saudara sesusuan dan karena sebab yang lain.
b.
Menurut Al-Hafidz: Mahram perempuan adalah orang yang diharamkan baginya
atas dasar ikatan (pernikahan) kecuali ibu hasil hubungan badan yang syubhat
dan wanita yang dilaknat. Lihat Kitab Fathul Barr, jil. 9, hlm. 332.
c.
Menurut Ibnu Qudamah: Mahram
adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab,
persusuan dan pernikahan, seperti bapaknya, anaknya atau saudara laki-lakinya
karena sebab nasab atau sepersusuan. Baca Abdul Karim Zaidan, Al Mufashol
fii ahkamil mar’ati wa baitil muslim fii syariati islamiyyah jilid 3 hal;
148.
d.
Menurut Ibnu Atsir: Mahram adalah yang diharamkan menikah dengan
sanak keluarganya seperti ayah, anak, saudara laki-laki, pamannya atau yang
lainnya yang masih memiliki ikatan mahram.
e.
Menurut Muhammad Khasyad: Mahram adalah seorang yang haram
menikah atas dasar ikatan karena sebab pernikahan, nasab, persusuan atau sebab
yang lain. Lihat Muhammad Khasyad, Fiqhu Nisaa fii Wuduil Madhahibil
‘arba’ah, (Al-Qohirah: Darul Kurub Al-Mu’asiroh, 1994), hlm. 142.
f.
Menurut Saleh al-Fauzan: Maharm adalah semua orang yang haram
dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya
atau dari sebab-sebab pernikahan yang lain seperti saudara sepersusuan, ayah
ataupun anak tirinya.
Dari menurut pendapat beberapa ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa, Mahram secara keseluruhan adalah larangan atau
pengharaman yang berkaitan dengan hukum misalnya, pernikahan, safar, batasan
aurat serta hukum berjabat tangan dll.
[4]
Syaikh Muhammad ‘Ali Ash-Shobuny, Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min
Al-Quran, (Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyah) t.h, Juz 1, hlm. 446-447.
[5]
Imam Jalaludin al-Suyuti, Asbaab al-Nuzul (Beirut: Muassasah al-Kutub
al-Tsaqofiyah, 1422 H) hlm 74.
[6]
Ibid, hlm. 73
[7]
QS Surah Al-Ahzab: 4 dan 40 berbunyi:
مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ۬
مِّن قَلۡبَيۡنِ فِى جَوۡفِهِۦۚ وَمَا جَعَلَ أَزۡوَٲجَكُمُ ٱلَّـٰٓـِٔى
تُظَـٰهِرُونَ مِنۡہُنَّ أُمَّهَـٰتِكُمۡۚ وَمَا جَعَلَ أَدۡعِيَآءَكُمۡ
أَبۡنَآءَكُمۡۚ ذَٲلِكُمۡ قَوۡلُكُم بِأَفۡوَٲهِكُمۡۖ وَٱللَّهُ يَقُولُ
ٱلۡحَقَّ وَهُوَ يَهۡدِى ٱلسَّبِيلَ (٤)
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
(QS. Al-Ahzab: 4)
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ۬ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَـٰكِن
رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّـۧنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ
عَلِيمً۬ا (٤٠)
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Ahzab:
40)
[8]
Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami’ lil Ahkaami al-Quraan (Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1965), j.5. hlm. 104.
[9]
Ibid. : Ada 2 versi penafsiran para Mufassir terhadap ayat:
وَلاَ تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُمْ
Versi
pertama, berpendapat yang dimaksud dengan kalimat ini adalah
janganlah melakukan akad nikah yang fasid (rusak), seperti yang telah
dilakukan oleh ayah-ayahmu. Jadi, مَا dalam ayat ini bermakna akad
(yang dapat diterjemahkan kepada sebagaimana), sehingga penggalan ayat tersebut
berarti “janganlah kamu menikah sebagaimana akad nikah yang dilakukan oleh
ayah-ayahmu.” Versi kedua, berpendapat pula bahwa ayat ini melarang
menikahi perempuan yang telah pernah dinikahi oleh ayah. Dengan demikian,
menurut versi kedua ini, kata مَا dalam ayat tersebut berarti من (orang), yang dijelaskan oleh ungkapan berikutnya,
yaitu:
من النساء Lihat lebih lanjut al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkami al-Quran.
[10]
Abi Bakar Ahmad bin Ali al-Razi al-Jashash, Ahkam al-Quran (Kairo: Isa al-Bab
al-Halabi, tt). J. 10. Hlm. 24.
[11]
Sayyid Kutub, Tafsir Fii Zhilalil Quran, (Jakarta: Gema Insani
Press) 2001, jilid 2, hlm. 310.
[12]
Ibid,
Mahram Muabbad dibagi menjadi 4 macam diantaranya:
1. Mahram karena nasab.
2. Mahram karena rada’ahl (persusuan).
3. Mahram mushaharah (pernikahan).
Mahram karena Li’an (yaitu haramnya
suami-isteri untuk bersatu kembali selamanya setelah kedua saling melakukan Li’an).
[13]
Syaikh Muhammad Ali Ash-Shobuny, Op. Cit, hlm. 358.
[14]
Ibid.,
Selain
disyariatkan bahwa laki-laki tersebut telah menggauli ibunya, syarat lain yang
menjadi alasan keharaman menikahi anak tiri adalah anak tiri itu berada dalam
didikan, penjagaan atau tanggung jawab seorang ayah tiri. Akan tetapi, jika dia
tidak berada dalam tanggung jawab ayah tirinya itu, maka dia boleh dinikahi oleh ayah tirinya
tersebut, itupun jika ibu si anak tiri tersebut meninggal dunia atau cerai dan
belum digauli oleh ayah tiri tersebut. Syarat pertama disepakati oleh para
Ulama. Sedangkan syarat yang terakhir tidak mereka sepakati.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa anak titi haram dinikahi, baik berada dala, penjagaan
ayah tirinya itu ataupun tidak. Kata التي في حجوركم
dalam QS An-Nisa ayat 23 ini
tidaklah menunjukkan kepada syarat. Ia hanya menjelaskan kebiasaan yang
terjadi. Perbedaan pendapat mereka juga berlaku pada ibu tiri, yang ayahnya
belum digauli.
Menurut jumhur ulama, ibu istri haram
dinikahi secara mutlak baik anaknya diceraikan sebelum digauli ataupun sudah
digauli. Dia haram dinikahi karena semata ‘aqad nikah dengan anaknya. Sedangkan anak tiri
haram dinikahi disebabkan karena ibunya telah digauli. Baca lebih lengkap Muhammad
Jamaludin al-Qasimi, Mahaasin
al-Ta’wil (T.tp: Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, 1957), jilid. V, hlm. 1177-1179.
[15]
Sayyid Kutub, Op. Cit, hlm. 311.
[16]
Persusuan: adalah air susu seorang perempuan kepada anak kecil dengan
syarat-syarat tertentu. Lihat kitab al-Mufashol
fii ahkamil mar’ati wa baitil muslim fii syari’ati islamiyah jilid 6. hlm.
235.
Sedangkan
persusuan yang menjadika seseorang
[17]
Ibid.,
Jenis yang pertama dan
ketiga dari wanita-wanita mahram ini disebutkan pengharamannya dalam ayat nash
di atas. Adapun selain yang diharamkan
dalam surat ini, aturan pelaksanaannya disebutkan dalam hadis Nabi Saw yang
artinya:
“Diharamkan karena
susuan, apa yang diharamkan karena nasab (HR. Bukhara dan Muslim)
No comments:
Post a Comment