Makalah Manusia Sebagai Konselor dan Sasaran Konseling
Dalam Pendidikan
Oleh: Herif De Rifhara
PENDAHULUAN
Di dalam pendidikan tidak terlepas dari ilmu yang membahas mengenai prilaku
manusia, agar proses pendidikan tersebut berjalan lancar. Sejalan dengan itu
pula masalah pendidikan ini tidak terlepas dari ilmu bimbingan dan konseling
yang membimbing manusia secara khusus untuk menyelesaikan permasalahan
hidupnya. “Bimbingan didefenisikan sebagai suatu proses membantu individu untuk
memahami dirinya dan dunianya,” sedangkan “konseling adalah hubungan timbal
balik di antara dua orang individu, di mana yang seorang (ialah konselor)
berusaha membantu yang lain (ialah klien) untuk mencapai atau mewujudkan
pemahaman tentang dirinya sendiri dalam kaitannya dengan masalah atau kesulitan
yang diahadapinya pada saat ini dan pada waktu mendatang.” (Dewa Ketut Sukardi,
:168-169).
Namun secara umum pendidikan berarti suatu proses transformasi yang
dilakukan seseorang atau masyarakat ke generasi berikutnya, serta dilaksanakan
secara sengaja, teratur, terstruktur dan dapat diukur atau diketahui hasilnya.
A. Muri Yusuf mengatakan “pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
setiap individu, baik sebagai makhluk individual, ethis maupun makhluk sosial.
Tiap-tiap individu akan tumbuh dan berkembang; cepat atau lambat dalam
lingkungan yang terus berubah ditentukan antara lain oleh kemampuan pendidik
dalam memahami tujuan yang akan dicapai.” (A. Muri Yusuf,:dalam kata
pengantar). Artinya pendidikan itu diperlukan untuk membimbing manusia yang
akan tumbuh dan berkembang agar menjalankan tugas dan panggilan hidupnya secara
efektif, dan juga pendidikan tersebut bertugas untuk membangun kualitas manusia
seutuhnya. Ini semua tak terlepas dari peran Konselor dan Konseling.
Mengenai konselor dan konseling yang merupakan salah satu proses dalam
pendidikan untuk membantu manusia baik secara kelompok ataupun individu dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Dalam makalah mata pelajaran
Isu-isu Pendidikan Islam ini akan membahas mengenai Manusia Sebagai Konselor
dan Sasaran Konseling Dalam Pendidikan, di mana pembahasan ini akan meliputi tentang:
1, Pola-pola kepribadian dan dimensi kemanusiaan. 2, Manusia sebagai khalifah.
Dan 3, Manusia sebagai konselor dan sasaran konseling. Dari ketiga-tiga ini,
tidak lain diambil dari buku pegangan pokok berjudul Isu-isu Kontemporer
Tentang Pendidikan Islam yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Samsul Nizar, MA dan
Dr. Muhammad Syaifudin, MA.
PEMBAHASAN
1. POLA-POLA KEPRIBADIAN DAN DIMENSI KEMANUSIAN
Al-Qur’an memuat
petunjuk mengenai manusia, sifat-sifat dan keadaan psikologisnya yang berkaitan
dengan pembentukan gambaran yang benar tentang kepribadian manusia, motivasi
utama yang menggerakkan perilaku manusia, serta faktor-faktor yang mendasari
keselarasan dan kesempurnaan kepribadian manusia dan terwujudnya kesehatan jiwa
manusia. (Muhammad Utsman Najati,: 11).
Namun pengklasifikasian manusia ke dalam pola-pola kepribadian yang
menghimpun pribadi-pribadi yang memiliki kesamaan ciri, perlu diupayakan karena
membantu menjelaskan dan menafsirkan prilaku-prilaku manusia. Dalam Al-quran,
manusia diklasifikasikan berdasarkan keyakinan ke dalam tiga hal sebagaimana
yang dijelaskan oleh Muhammad Utsman Najati yang di kutip oleh Samsul Nizar dan
Muhammad Syaifudin, yaitu, Mukmin, Kafir dan Munafik:
a.) Mukmin
Adalah gambaran kepribadian manusia paripurna dalam kehidupan ini. Manusia
yang merupakan model bagi masyarakat yang telah dibentuk oleh Rasulullah Saw
pada generasi pertama umat ini. Melalui generasi awal inilah Rasulullah mampu
mengubah wajah sejarah umat manusia dari bentuk jahiliyah menjadi bentuk non
jahiliyah dengan cahaya ketauhidan. Dan karekteristik manusia yang menjadi
model kehidupan ini ialah: beriman, beribadah kepada rabbnya secara benar,
berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan akhlak mulia dalam
kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan dalam menghindari perbuatan
terlarang, serta dalam beramal selalu ikhlas, amanah dan sempurna. Dan kesemua
itu tidak terlepas dari yang diamanahkan Allah swt di dalam al-quran yang mulia
dan hadist/sunnah nabi-Nya.
b.) Kafir
Perihal kepribadian orang yang tidak
mengimani ketauhidan Allah Swt, tidak mengimani rasul-rasul, kitab-kitab yang
diturunkan, tidak beriman pada hari akhirat, kebangkitan, dan hisab, serta
tidak pula mengimani surga dan neraka yang dijanjikan. Bersikap taklid atas
tradisi yang biasa dilakukan oleh para leluhurnya, karena mereka bersikap
terhadap tradisi jahiliyah yang dilakukan oleh leluhur yang telah sesat dan tak
tahu jalan kembali, membuat pribadi-pribadi mereka mengalami kejumudan
(stagnasi) berfikir dan tidak mampu menyelami ketauhidan yang diajarkan oleh
para utusan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang materialistik dan oportunistik
yang sangat mementingkan kenikmatan dan kesenangan dunia semata, sehingga
menjadikan mereka orang yang berprilaku hasud, iri hati, tidak senang, serta
bersikap sombong dan menertawai kaum mukmin, tersebab hal yang demikian itu,
mereka dalam mengarungi kehidupan ini, sarat dengan kedurhakaan, kefasikan,
serta tenggelam dalam pemuasan hawa nafsu dan syahwat.
b.) Munafik
Mengenai perihal kepribadian orang munafik, al-quran membicarakannya di
dalam surat An-Nisa’:142
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu
Allah, maka Allah membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk
salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di
hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa`: 142)
Dan juga secara panjang lebar di surah Al-baqarah pada ayat ke 8 s/d ayat
ke 20, dan tidak mungkin akan kami tulis dalam makalah yang ringkas ini. Namun
Rasulullah Saw dalam haditsnya menyimpulkan, bahwa kepribadian orang munafik
itu ialah:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا
وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ
حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ
غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah
seorang munafiq tulen, dan barangsiapa yang terdapat pada dirinya satu sifat
dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat nifaq hingga dia
meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dia
dusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika berseteru dia berbuat
kefajiran”. (HR.
Al-Bukhari no. 89 dan Muslim no. 58)
Dan dalam hadits yang berbunyi
إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأِتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Sesungguhnya salat yang paling berat dilaksanakan
oleh orang-orang munafik adalah salat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka
mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan
merangkak.” (HR.
Al-Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)
2. MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH
Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, 2010 berkata “Sebelumnya, pembicaraan
ini terlebih dahulu harus diawali dengan memahami term-term manusia yang ada di
dalam al-quran. Hal ini dianggap penting karena manusia merupakan sosok makhluk
multidimensi yang bersifat unik. Lebih lagi tatkala dikaitkan dengan peran
manusia sebagai makhluk yang berpotensi untuk menimbulkan masalah dan
kemampuannya menyelesaikan masalah. Dalam kegiatan konseling, sosok manusia
dipandang sebagai konselor dan sasaran konseling (klien).”
Term-term manusia yang ada di dalam al-quran. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh M. Quraishi Shihab, 1998 yang dikutip oleh Nizar dan Muhammad Syaifudin,
2010 : bahwa Al-quran menyebutkan manusia dengan berbagai nama antara lain:
Al-Basyar, Al-Insan, An-Nas, Bani Adam, al-ins, Abdullah (hamba Allah), dan
Khalifah Allah.
A. Konsep Al-Basyar
Kata Al-Basyar
dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu
dengan baik dan indah. Dari akar kata
yang sama, lahirlah kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dikatakan basyarah karena kulitnya
tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang lainnya. Selanjutnya menurut
Abdul Mujib dan Muhaimin, 1993 yang dikutip oleh Samsul Nizar dan Muhammad
Syaifudin, 2010, “manusia dalam konsep basyar, dipandang dari
pendekatan biologis. (Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin:172)
Jadi dapat
dipahami bahwa manusia, secara biologis, tidak jauh berbeda dengan makhluk
biologis lainnya. Manusia memiliki dorongan biologis seperti dorongan makanan
dan minuman untuk hidup, dan juga memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan
proses khidupannya. Dan juga mengalami proses akhirnya secara fisik, yaitu mati
seperti makhluk biologis lainya.
B. Konsep Al-Insan
Dari kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandangan
Al-Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya yang berarti lupa atau nasa-yanusu yang berarti berguncang. Di dalam Al-Quran, penggunaan kata Al-Insan mengacu kepada
potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia seperti untuk tumbuh dan
berkembang secara fisik dan juga mental spiritual. Potensi tesebut meliputi
potensi untuk mengembangkan diri secara positif yang memberi peluang bagi
manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya insaninya, sehingga diharapkan
dapat menjadi makhluk ciptaan Allah yang mengabdi kepada pencipatnya. Selain
itu, manusia juga memiliki potensi negative yang berpeluang untuk mendorong
manusia ke arah tindakan, sikap dan prilaku yang akan menjerumuskan dirinya
kepada jurang kehinaan dan penderitaan hidup.
Terhadap potensi
yang negatif tersebut, manusia sebagai makhluk alternatif, diharapkan mampu
mengatasinya sehingga dapat mengantarkan dirinya kepada posisi yang terhomat
dan mulia.
C. Konsep An-Nas
Kata An-Nas
terulang sebanyak 24 kali di dalam Al-Quran dan secara umum dihubungkan dengan
fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk
bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan perempuan, kemudian
menjadi suku dan bangsa untuk saling mengenal. Secara fitrah manusia senang
berkelompok dimulai dari bentuk yang terkecil yaitu keluarga sampai yang
terbesar yaitu bernegara (bangsa) dan umat manusia. Sejalan dengan konteks
tersebut, manusia diharapkan mampu menciptakan keharmonisan hidup baik pada
ruang lingkup yang paling sederhana yaitu keluarga maupun pada ruang lingkup
yang lebih luas yaitu masyarakat. Kemampuan untuk memerankan diri sebagai
makhluk sosial, dikaitkan dengan konsep beriman dan beramal saleh.
D. Konsep Bani
Adam
Muhammad Fuad Abd.
Baqi mengatakan seperti dikutip oleh Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin
“Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di 7 tempat di dalam al-quran. Manusia
sebagai Bani Adam dikaitkan dengan gambaran peran Adam As saat awal diciptakan.
Di kala Adam As akan diciptakan, para malaikat seakan mengkhawatirkan kehadiran
makhluk ini. Para malaikat takut bumi akan dipenuhi dengan kerusakan dan
pertumbahan darah. Kemudian Adam dan Hawa karena kekeliruan akhirnya terjebak
oleh hasutan setan hingga keduanya dikeluarkan dari surga sebagai hukuman atas
kelalaian yang mereka perbuat. (Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin:174).
Berdasarkan
kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa manusia selaku Bani Adam dipandang sebagai
makhluk yang bermasalah dan selalu dalam kekeliruan. Sehingga berpeluang untuk
tergoda oleh setan. Oleh karena itu, manusia diharapkan mampu menjaga kemuliaan
dirinya dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Konsep ini menitikberatkan kepada
upaya pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama manusia yang memiliki latar
belakang sosio-kultural, agama, bangsa dan bahasa yang berbeda-beda. Disamping
itu, konsep Bani Adam terkait erat dengan perlindungan terhadap hak asasi
manusia (HAM) yang sarat dengan nilai-nilai humanis yang hakiki dalam ruang
lingkup global.
E. Konsep Al-Ins
Kata Al-Ins
merupakan homonym dari kata al-jins dan an-nufur (Muhammad Fuad Abd dalam Samsul Nizar
dan Muhammad Syaifudin:175). Menurut M. Quraish Shihab seperti yang dikutip
oleh Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin “kata al-Insan terambil dari akar kata
uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak.” Pendapat ini jika ditinjau dari
sudut pandangan Al-Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil
dari kata nasiya yang berarti lupa atau nasa-yanusu berarti berguncang.
Sementara menurut Bintu Syathi’, kata al-ins selalu disebut bersamaan dengan
kata jin sebagai lawan katanya. Penyebutan kata al-ins dalam format redaksional
seperti itu terdapat pada 18 ayat. Pesan makna yang dapat ditangkap dari kata
Al-ins adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang bersifat kongkrit (nyata)
yang terikat oleh taklif (tugas keagamaan) yang merupakan amanat dari Allah
yang harus dipikulnya. Karena manusia dibekali dengan ilmu yang dapat ditangkap
dan dicerna oleh telinga, akal serta hati, sehingga menjadika manusia tersebut
mempau berfikir yang buruk dan yang baik.
F. Konsep Abdullah
Dalam Konsep
manusia sebagai Abd Allah yang berarti abdi
atau hamba Allah. Menurut M. Quraish Shihab, seluruh makhluk yang memiliki
potensi berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti
dimiliki Allah. Kepemilikan Allah terhadap makhluk tersebut merupakan
kepemilikan mutlak dan sempurna. Dengan demikian, Abd Allah tidak dapat
berdiri sendiri dalam kehidupan dan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan itu.
Dalam konteks manusia sebagai Abd Allah, diharapkan
manusia mampu menempatkan diri sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada
semua ketentuan pemiliknya, yaitu Allah. Sebagai pernyataan pengahambaan
dirinya, manusia harus dapat menempatkan dirinya sebagai pengabdi Allah dengan
sungguh-sungguh dan secara ikhlas.
Keenam istilah di
atas identik untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaan
dan perbedaan dengan manusia seluruhnya. Sedangkan yang menyangkut unsur
immaterial, ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia,
yaitu uraian tentang
1. Fitrah,
2. Nafs,
3. Qalb, dan
4. Ruh
G. Konsep Khalifah
Pernyataan tentang kekhalifahan Adam di
muka bumi diterangkan dalam Al-Quran, kata Khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) terulang sebanyak 2 kali, yaitu pada Surat Al-Baqarah ayat 30 dan
surat Shad ayat 26. Kata Khalifah berarti di
belakang, dan karena itu sering diartikan pengganti (karena yang menggantikan
selalu berada dibelakang, atau datang sesudah yang digantikan). (M. Quraish
Shihab dalam Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin: 179).
Islam memandang manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan sebagai proyeksi
dimensi vertikal ke dalam tataran horizontal. Hal tersebut dikarenakan manusia
yang memiliki akal mengetahui realitas dia sendiri dan menjadi salah satu
manifestasinya. Ia dapat bangkit melampaui egonya yang bersifat duniawi dan
kontigen. Kemampuannya yang berbicara tersebut dia dapat berdialog dengan Tuhan
sebagai teman bicaranya. Manusia merupakan cerminan yang di dalamnya terpantul
nama dan sifat-sifat Allah yang dihadapan-Nya berdiri tegak dan untuk
selama-lamanya. (H.A. Sholeh Dimyati, 1995).
Dengan potensi akal yang dimiliki maka manusia memiliki kedudukan yang
mulia di mata Allah ataupun makhluk yang lain. dikarenakan dalam akal tersebut
mengandung berbagai macam sumber sangat diperlukan oleh semua makhluk baik
manusia atapun makhluk yang lain. Hal ini dikarenakan manusia dengan akalnya
merupakan makhluk yang mensejarah untuk menciptakan sejarah, mahluk yang
berkebudayaan dan berbudaya dalam menciptakan peradaban serta manusia merupakan
sebagai khalifah Allah dimuka bumi yang memiliki tugas melahirkan serta menjaga
ketentraman di bumi.
Kata khalifah, para mufassir tidak memberikan makna yang berbeda.
Al-Shabuni misalnya seperti yang dikutip oleh Samsul Nizar dan Muhammad
Syaifudin; “menafsirkan kata tersebut dengan wakil tuhan (di bumi) untuk melaksanakan
berbagai hukum-hukum dan ketentuannya.” Penelusuran lebih lanjut terhadap
istilah Khalifah tersebut ditemukan beberapa persamaannya, baik dalam redaksi
maupun dalam makna dan konteks uraian. Pertama, kata khalifah berkaitan dengan al-ardh (bumi). Kedua, baik Adam maupun Dawud sama-sama digambarkan pernah
tergelincir tetapi diampuni Allah. Ketiga, sebagai orang yang dimuliakan Allah, mereka dibekali
dengan ilmu pengetahuan.
Dapat dipahami bahwa dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah,
manusia senantiasa dibimbing Allah. Bimbingan itu dapat dilakukan secara
langsung seperti bimbingan Allah terhadap para Nabi dan Rasul-Nya, atau secara
tidak langsung. Dengan bimbingan yang diberikan Allah, diharapkan manusia tidak
akan tersesat dan tidak mengikuti jalan setan delam memecahkan segala persoalan
(problem) hidup yang dihadapinya.
3. MANUSIA SEBAGAI KONSELOR DAN SASARAN KONSELING
Manusia sebagai
khalifah, dituntut untuk mampu mengembangkan dimensi-dimensi kemanusiaan yang
ada pada dirinya yaitu kepribadian yang matang, kemampuan sosial yang
menyejukkan, kesusilaan yang tinggi dan keimanan serta ketakwaan yang mendalam.
Tetapi, kenyataan yang sering dijumpai adalah keadaan pribadi yang kurang
berkembang dan rapuh, kesosialan yang panas dan sangar, kesusilaan yang rendah,
dan keimanan serta ketawaan yang dangkal.
Berbagai persoalan
(problem) tersebut tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Problem tersebut baik dari segi sifat, sikap,
prilaku maupun keyakinan kepada agamanya. Pergeseran nilai seperti di atas
mengakibatkan hilangnya identitas kepribadian muslim yang sempurna. Pada saat
seseorang mengalami probelema dalam kehidupannya, ia pasti membutuhkan orang
lain untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi.
Dalam kaitannya
dengan dunia konseling, ungkapan di atas memberikan petunjuk kepada umat
manusia agar senantiasa membagi suka dan duka kepada sesama saudaranya,
terutama sesama muslim, dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya.
Hal ini menunjukkan bahwa manusia, sebagai individu dan makhluk sosial,
memiliki peran ganda yaitu pada suatu saat berperan sebagai seorang yang
memberikan bantuan kepada orang lain (konselor) dan pada saat yang lain
berperan sebagai orang yang memerlukan bantuan orang lain (klien) dalam
mengatasi berbagai persoalan hidup yang dihadapinya. (M. Utsman Najati dalam
Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin: 186).
Peran sebagai
konselor dan klien (sasaran konseling) dapat dipahami dari uraian berikut ini:
Pertama, Allah berperan
sebagai konselor dan para nabi/rasul sebagai kliennya. Kedua, Rasul berperan sebagai konselor dan umatnya sebagai
kliennya. Ketiga, orang tua
berperan sebagai konselor dan anak-anaknya sebagai kliennya. Keempat, Guru berperan sebagai konselor dan murid sebagai
kliennya.
KESIMPULAN DAN
PENUTUP
Manusia sebagai Khalifah Allah memiliki potensi untuk menjadi seorang
konselor (pemberi bimbingan) dan klien (penerima bimbingan). Hal ini
dikarenakan manusia sejak zaman Nabi Adam sampai sekarang dan pada masa yang
akan datang, manusia dipandang sebagai makhluk yang senantiasa penuh dengan
masalah. Dan oleh karena itu perlu adanya bimbingan.
Manusia senantiasa dihadapkan dengan berbagai permasalahan (problem)
kehidupan yang mau tidak mau atau siap tidak siap harus diselesaikan/diberikan
solosinya. Maksudnya penyelesaian problem agar manusia dapat meraih
kebahagian-kesenangan hidup. Dengan demikian walaupun manusia sebagai Khalifah
Allah dengan segudang potensi yang dimiliknya, namun mereka tidak dapat
melepaskan diri dari bimbingan dan konseling baik secara langsung yang berasal
dari Allah maupun secara tidak langsung dari sesama manusia. Sehingga ia tidak
terjerumus dalam hal-hal yang tidak diinginkan, seperti yang dijelaskan di atas
mengenai tipe-tipe manusia.
Tujuan bimbingan adalah memberikan pelayanan bimbingan kepada siswa (kalau
bimbingan tersebut dikaitkan ke dalam bentuk sebuah pendidikan yang formal)
dalam rangka upaya agar siswa dapat menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan
merencanakan masa depan. “Bimbingan dan konseling pengembangan seluruh aspek
kepribadian siswa, pencegahan terhadap timbulnya masalah yang akan menghambat
perkembangannya, dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, baik
sekarang maupun masa yang akan datang. Sehubungan dengan target populasi layanan
bimbingan dan konseling, layanan ini tidak terbatas pada individu yang
bermasalah saja, tetapi meliputi seluruh siswa.” (Nurihsan, 2006: 42). Proses
bimbingan guru kepada murid yang terjadi di sekolah, seperti dijelaskan oleh
Nurihsan juga bisa dimaknai secara luas (diluar sekolah) yang seperti
dijelaskan di paragraph ke 1 dan 2 di atas pada kesimpulan ini.
Demikianlah apa makalah yang kami susun ini semoga bermanfaat. Dan sebagai
manusia yang mempunyai sifat pelupa, kami sebagai penulis, meminta kritik dan
saran pembaca agar kami terus membenah diri dalam membuat sebuah tulisan,
apakah itu kritikan mengenai tulisan yang kurang 1 huruf atau sebuah kutipan
dari buku yang kami ambil dan gaya bahasa yang kami tuangkan dalam tulisan ini.
Dengan demikian tidak ada perpecahan diantara kita.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Dimyati, H.A. Sholeh Tinjauan Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan tantang
Manusia” Jakarta: Media Tama, 1995
Najati, Muhammad Utsman Psikologi dalam Al-Qur’an: Terapi Qur’ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, terj. M. Zaka al-Farisi, Bandung: Pustaka Setia, 2005
Nurihsan, A. Juntika Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: Refika Aditama, 2006
Sukardi, Dewa
Ketut “bimbingan dan konseling” bina aksara, 1988
Yusuf, A. Muri “pengantar ilmu pendidikan” Jakarta: balai aksara,
yudhistira dan saadiyah, 1982
No comments:
Post a Comment