Masalah Di Dalam Kurikulum 2013
Sudah diterbitkan di Riau Pos 25 Desember 2014
Herif De Rifhara
Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Suska Riau
Jurusan Pendidikan Agama Islam.
Lulus 2015
Kebijakan Mendikbud Dikdasmen Dr Anies
Baswedan penundaan pemberlakuan kurikulum 2013 di beberapa sekolah yang penuh
kontra itu mesti di apresiasi setinggi-tingginya. Sebab masalah yang ada di
dalam kurikulum 2013 ini ialah, pertama, memprioritaskan Afektif .
Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang lebih
mengedepankan afektif (spritual/moralitas/rohani) ketimbang kognitif (intelektual/pengetahuan)
dan psikomotorik (gerakan badan/jasmani) siswa. Karena lebih
mengedepankan afektif, maka membuat sebagian besar guru kebingungan dalam
memberikan nilai kepada anak didik.
Memang afektif anak didik lebih
diprioritaskan, sebagaimana tujuan pendidikan nasional yang telah tertuang
dalam undang-undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 yang lebih
mengedepankan afektif. Namun penilaian afektif ini semestinya,
tidak dicampuradukkan dengan penilaian kognitif dan tidak pula
dicampuradukkan dengan penilaian psikomotorik.
Afektif, kognitif dan psikomotrik yang
ingin ditanamkan ke dalam diri anak didik, seharusnya dilakukan secara bertahap
dan tidak dipaksakan. Karena pendidikan itu sendiri adalah sebuah usaha
mendidik yang dilakukan secara bertahap dan kontineu, artinya ada proses,
jenjang dan waktunya kapan ketika hendak menanamkan 3 sikap yang dikemukakan
oleh Benjamin S Blomm tersebut.
Kedua, Pemaksaan Terhadap Penanaman
Afektif. Kurikulum 2013 cendrung memaksakan anak didik agar afektifnya benar-benar
terbentuk, dalam bahasa agama dikatakan, “Beriman terlebih dahulu baru berilmu.”
Bagaimana mungkin sikap afektif bisa tertanam tanpa didahului kognitif ?
Itu mustahil, sebab afektif adalah sesuatu yang abstrak. Artinya,
pendidikan semestinya melalui ranah kognitif terlebih dahulu,
sehingga perlahan tapi pasti, dengan kognitif yang dimiliki anak didik
tersebut, afektif yang bersifat abstrak itu akan terwujud di diri
anak didik.
Adapun yang berpendapat bahwa, afektif
bisa diukur, seperti contoh pertanyaan dari guru kepada murid, “Menurut kamu
korupsi itu, sesuatu yang lumrah atau haram?” jika murid menjawab lumrah
ataupun haram, maka sebenarnya pertanyaan dan jawaban itu adalah kognitif,
sebab pertanyaan dan jawaban adalah pengetahuan yang diungkapkan dengan
kata-kata dan kata-kata bisa saja menipu. Artinya, afektif tidak akan
bisa dinilai dalam bentuk materi dalam sebuah pelajaran atau dinilai dalam
bentuk wawancara dan angket, akan tetapi afektif hanya bisa dilihat dan
dinilai melalui observasi/pengamatan.
Ketiga, Mata Pelajaran Yang Tidak Jelas.
Pemaksaan afektif dalam kurikulum 2013 ini, juga membuat bahan pertanyaan/soal
yang mesti dijawab oleh siswa di sekolah pun tidak jelas, mana pertanyaan/soal
dari pelajaran PKN, agama, IPS, IPA dan matematika, sebab materi pelajaran yang
diajarkan pun tidak jelas. Sehingga membuat orang tua yang membantu anaknya
belajar di rumah juga ikut-ikutan stres. Itupun kalau orang tua yang perduli
dengan anaknya, jika orang tua yang tidak perduli terhadap pelajaran anaknya di
sekolah, seperti anak-anak broken home, misalnya? Tentu anaklah yang menanggung bebannya
sendiri. Dan lebih parahnya lagi, pelajaran yang diperuntukkan untuk tingkat
SMA, malah di jejalkan di tingkat SD.
Bahkan
ketika mengisi raport, guru pun bingung, sampai-sampai orang tua dan murid
bingung. Mana nilainya? Rangking berapa?
No comments:
Post a Comment