Sunday, February 24, 2019

Masalah Di Dalam Kurikulum 2013


Masalah Di Dalam Kurikulum 2013
Sudah diterbitkan di Riau Pos 25 Desember 2014


Herif De Rifhara
Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Suska Riau
Jurusan Pendidikan Agama Islam.
Lulus 2015
Kebijakan Mendikbud Dikdasmen Dr Anies Baswedan penundaan pemberlakuan kurikulum 2013 di beberapa sekolah yang penuh kontra itu mesti di apresiasi setinggi-tingginya. Sebab masalah yang ada di dalam kurikulum 2013 ini ialah, pertama, memprioritaskan Afektif .
Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang lebih mengedepankan afektif (spritual/moralitas/rohani) ketimbang kognitif (intelektual/pengetahuan) dan psikomotorik (gerakan badan/jasmani) siswa. Karena lebih mengedepankan afektif, maka membuat sebagian besar guru kebingungan dalam memberikan nilai kepada anak didik.
Memang afektif anak didik lebih diprioritaskan, sebagaimana tujuan pendidikan nasional yang telah tertuang dalam undang-undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 yang lebih mengedepankan afektif. Namun penilaian afektif ini semestinya, tidak dicampuradukkan dengan penilaian kognitif dan tidak pula dicampuradukkan dengan penilaian psikomotorik. 
 Afektif, kognitif dan psikomotrik yang ingin ditanamkan ke dalam diri anak didik, seharusnya dilakukan secara bertahap dan tidak dipaksakan. Karena pendidikan itu sendiri adalah sebuah usaha mendidik yang dilakukan secara bertahap dan kontineu, artinya ada proses, jenjang dan waktunya kapan ketika hendak menanamkan 3 sikap yang dikemukakan oleh Benjamin S Blomm tersebut.
Kedua, Pemaksaan Terhadap Penanaman Afektif. Kurikulum 2013 cendrung memaksakan anak didik agar afektifnya benar-benar terbentuk, dalam bahasa agama dikatakan, “Beriman terlebih dahulu baru berilmu.” Bagaimana mungkin sikap afektif  bisa tertanam tanpa didahului kognitif ? Itu mustahil, sebab afektif adalah sesuatu yang abstrak. Artinya, pendidikan semestinya melalui ranah kognitif terlebih dahulu, sehingga perlahan tapi pasti, dengan kognitif yang dimiliki anak didik tersebut, afektif yang bersifat abstrak itu akan terwujud di diri anak didik.
Adapun yang berpendapat bahwa, afektif bisa diukur, seperti contoh pertanyaan dari guru kepada murid, “Menurut kamu korupsi itu, sesuatu yang lumrah atau haram?” jika murid menjawab lumrah ataupun haram, maka sebenarnya pertanyaan dan jawaban itu adalah kognitif, sebab pertanyaan dan jawaban adalah pengetahuan yang diungkapkan dengan kata-kata dan kata-kata bisa saja menipu. Artinya, afektif tidak akan bisa dinilai dalam bentuk materi dalam sebuah pelajaran atau dinilai dalam bentuk wawancara dan angket, akan tetapi afektif hanya bisa dilihat dan dinilai melalui observasi/pengamatan.
Ketiga, Mata Pelajaran Yang Tidak Jelas. Pemaksaan afektif dalam kurikulum 2013 ini, juga membuat bahan pertanyaan/soal yang mesti dijawab oleh siswa di sekolah pun tidak jelas, mana pertanyaan/soal dari pelajaran PKN, agama, IPS, IPA dan matematika, sebab materi pelajaran yang diajarkan pun tidak jelas. Sehingga membuat orang tua yang membantu anaknya belajar di rumah juga ikut-ikutan stres. Itupun kalau orang tua yang perduli dengan anaknya, jika orang tua yang tidak perduli terhadap pelajaran anaknya di sekolah, seperti anak-anak broken home, misalnya?  Tentu anaklah yang menanggung bebannya sendiri. Dan lebih parahnya lagi, pelajaran yang diperuntukkan untuk tingkat SMA, malah di jejalkan di tingkat SD.
            Bahkan ketika mengisi raport, guru pun bingung, sampai-sampai orang tua dan murid bingung. Mana nilainya? Rangking berapa?

No comments: