Sastra Dan Islam
Ditulis oleh Herif De Rifhara
Mahasiswa S.2 UIN Suska Riau
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Lulus 2015
Sudah
dipublikasikan di Riau Pos 6 Maret 2015
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu
melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah. Dan bahwasanya mereka
suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?. Kecuali
orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak
menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan
orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan
kembali. (Q.S asy-Syu‘araa’
[26]: 224-227)
Ayat di atas membahas tentang syair. Syair yang dimaksud bukanlah sebuah
lirik yang disenandungkan atau dinyanyikan, akan tetapi sebuah fiksi yang
dikarang berdasarkan imajinasi. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang membuat
syair disebut penyair, tetapi syair di Nusantara saat ini disebut sastra, pelakunya
disebut sastrawan, kata ini diambil dari bahasa sansekerta. Makna
sastra sama seperti yang dimaksud Al-Quran tentang syair, yaitu karya fiksi (hasil
imajinasi yang disajikan dalam bentuk cerita rekaan).
Para penyair adalah orang-orang yang diikuti oleh setan. Sebab, penyair
selalu berhubungan dengan perenungan yang dalam. Ketika manusia mulai merenung
apa yang dipikirkannya, disanalah kesempatan setan untuk membisikkan kesesatan.
Dari perenungan tersebut akan melahirkan fiksi yang menyesatkan manusia,
selanjutnya para penyair yang diikuti setan, akan mengatakan bahwa fiksi yang
mereka buat adalah wahyu dari tuhan, sebagaimana yang telah difirmankan Allah
swt: Dan apabila dikatakan kepada mereka “Apakah yang telah diturunkan
Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Dongeng-dongengan orang-orang dahulu”, (ucapan
mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada
hari kiamat,... (Q.S Al-Nahl [16]: 24-25).
Q.S Asy-Syu‘araa’ [26]: 224-227 di atas, walaupun menjelaskan
bahwa para penyair diikuti setan, namun ayat ini menegaskan lagi dengan
mengatakan “kecuali orang-orang yang beriman” yang dimaksud sebagai
“orang-orang beriman” dalam ayat ini adalah penyair-penyair yang beriman,
membuat fiksi untuk menumbuhkembangkan semangat tauhid dan akhlak mulia.
Penyair-penyair yang beriman akan mendukung al-Quran dan hadis melalui tokoh-tokoh
fiksi yang dibuatnya. Dan mereka tidak akan pernah mengatakan bahwa karya fiksi
yang ditulis itu adalah wahyu dari tuhan, melainkan hanya bagian dari budaya.
Jika sastra dilihat dari bahasa Arab, kata sastra disebut Adab pelakunya
disebut adiib. Kata ini juga memiliki arti, Adab:
“Pendidikan”, Adiib: “pendidik”. Dengan demikian, Q.S Asy-Syu‘araa’
[26]: 224-227 di atas, menunujukkan bahwa, sastra mempunyai andil dalam
pendidikan Islam, karena hakikat dari tujuan pendidikan Islam adalah membentuk
perilaku akhlak mulia. Terlihat disetiap karya-karya sastra yang
dilahirkan oleh penyair-penyair yang beriman saat ini, tersisip nilai-nilai
pendidikan.
Karya-karya sastra yang memiliki ruh pendidikan Islam tampak di dalam
karya-karya yang ditulis oleh Buya Hamka, Taufik Ismail, Habiburrahman El
Shirazy, Ahmad Fuadi dan Abidah El Khalieqy dengan karya-karyanya yang membahas
tentang permasalahan-permasalahan perempuan perspektif Islam.
Terakhir saya akan mengutip Mursal Esten (1987) dalam bukunya Kritik
Sastra Indonesia: 17, mengatakan: Sastra dijadikan sebagai media untuk
menyampaikan ide-ide, pikiran-pikiran dan pandangan-pandangan tentang
pendidikan.***
No comments:
Post a Comment