Friday, January 25, 2019

Makalah Macam-Macam Masa ‘Iddah


jika tulisannya tidak terlihat maka diblog atau dihitamkan saja
jangan lupa membaca catatan kaki makalah ini
MATA KULIAH:

Ayat-Ayat Hukum Keluarga



Makalah:

Macam-Macam Masa ‘Iddah











DISUSUN OLEH:



MUHAMMAD APRIL


Dosen Pembimbing:
Dr. H. Mustafah Umar, Ma



JURUSAN HUKUM ISLAM

KONSENTRASI S3 HUKUM KELUARGA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

2016
 
PENDAHULUAN

(jangan lupa baca catatan kakinya, penjelasan lebih terperinci di pojok paling bawah)

Rumah tangga terbentuk karena adanya pernikahan dan di dalam penikahan itu sendiri haruslah didasari adanya saling percaya antara suami-istri, agar tidak menimbulkan masalah yang mengakibatkan perceraian (memutuskan hubungan suami-istri). Walaupun Islam memperbolehkan perceraian, akan tetapi mempertahankan pernikahan adalah yang lebih utama di dalam Islam. Sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi:
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ، عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:  "أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ"
Telah menceritakan kepada kami Katsir bin Ubaid, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Khalid dari Ma’ruf bin Washil dari Mukharib bin Disar dari Ibnu Umar dari Nabi Saw bersabda: “Perkara yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian”.[1]
Istri yang ditalak oleh suami harus melaksanakan ‘iddah terlebih dahulu, baik talak melalui perceraian, maupun talak yang ditinggal mati suaminya. Seorang istri tidak boleh menikah lagi sebelum masa iddahnya habis, baik itu suami-istri menggunakan thalaq raj’i ataupun menggunakan thalaq bain.[2]
Masa iddah diwajibkan pada semua wanita yang berpisah dari suaminya dengan sebab talak, khulu’ (gugat cerai)[3], faskh (penggagalan akad pernikahan) atau ditinggal mati, dengan syarat suami telah melakukan hubungan suami-istri dengannya atau telah diberikan kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk melakukannya.[4]
‘Iddah berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata العِدَّة yang bermakna perhitungan (الإِحْصَاء).[5] Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa ‘iddah.
Secara istilah ‘iddah adalah sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggal mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’,[6] atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.[7] Atau suatu istilah untuk menyebutkan masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami.[8] Dengan demikian dari penjelasan di atas, Islam mewajibkan ‘iddah bagi seorang istri adalah demi melindungi kehormatan keluarga, serta menjaga dari perpecahan[9] dan percampuran nasab.[10]
            Ayat-ayat yang menerangkan tentang permasalahan ‘iddah di dalam pembahasan makalah yang berjudul “Tafsir Ayat-Ayat ‘Iddah” di dalam mata kuliah “Ayat-Ayat Hukum Keluarga” ini ialah terdiri dari QS al-Baqarah (2): 228, QS al-Baqarah (2): 234, dan QS at-Thalaq (65): 4-7.
PEMBAHASAN
A.  TEKS AYAT

1.                  Ayat Pertama QS al-Baqarah (2): 228.


228. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.[11] Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.[12] Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.[13] Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[14]

2.         Ayat Kedua QS al-Baqarah (2): 234.

 
234. Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[15] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. [16]

3.          Ayat Ketiga QS At-Thalaq (65): 4.


4. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.[17]
            B.     MAKNA MUFRADAT
            1.  Mufradat Ayat Pertama QS al-Baqarah (2): 228.

            2.     Mufradat Ayat Kedua QS al-Baqarah (2): 234.


        
            3.    Mufradat Ayat Ketiga QS At-Thalaq (65): 4.



C.    ASBABUN NUZUL
Asbabun nuzul ayat pertama yaitu QS al-Baqarah (2): 228, ayat ini berkenaan dengan Asma’ binti Yazid Al-Anshariyah, sebagaimana diriwayatkan dari Umar bin Muhajir yang diterima dari ayahnya, Asma’ binti Yazid Al-Anshariyah berkata,: “saya diceraikan di zaman Rasulullah. Pada waktu itu belum ada ‘iddah bagi wanita yang diceraikan oleh suaminya. Kemudian Allah menurunkan ayat tentang ‘iddah bagi wanita yang diceraikan oleh suaminya.” Maka Asma’lah wanita pertama kali menerima ‘iddah talak.[18]
Mengenai QS al-Baqarah (2): 234, ayat ini tidak ada kepastian mengenai asbabun nuzul ayatnya, namun ditemukan hadis yang membahas ayat ini, yaitu:
Telah menceritakan kepada kami Ishaq. Telah menceritakan kepada kami Rauh. Telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid mengenai firman Allah: Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri (Al Baqarah; 234). Ayat ini menerangkan wajibnya iddah di rumah keluarganya. Lalu Allah menurunkan ayat; Dan orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya yaitu nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya dari rumah. Tetapi jika mereka keluar sendiri, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri dalam hal-hal yang baik.[19]
 Mujahid berkata; Allah telah menjadikannya sebagai penyempurna dalam hitungan setahun yaitu tujuh bulan dan dua puluh malam sebagai wasiat. Apabila dia ingin, maka dia menempati sesuai wasiat tersebut. Namun jika ia ingin keluar, maka itu sudah menjadi kehendaknya. Itulah yang dimaksud firman Allah Ta’ala: Tetapi jika mereka keluar sendiri, maka tidak ada dosa bagimu. Maka iddah adalah perkara yang wajib. Perawi mengaku itu dari Mujahid. Atha berkata; Ibnu Abbas berkata; “ Ayat ini telah menghapus ‘iddah di rumah keluarganya sehingga ia ber’iddah di tempat yang ia kehendaki, yaitu firman Allah Azza wa Jalla: ‘Tanpa keluar rumah.’ ” Atha berkata; ‘Jika dia berkehendak, maka dia beriddah di rumah keluarganya dan tinggal sesuai wasiatnya.’ Namun jika dia berkehendak, ia keluar darinya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala: “Maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka senidiri.” (QS. Albaqarah 240). Atha berkata; kemudian turun ayat mirats (mengenai warisan) yang menghapus mengenai tempat tinggal, maka dia boleh beriddah sesuai kehendaknya tanpa harus tinggal dirumahnya. Dan dari Muhammad bin Yusuf, telah menceritakan kepada kami Warqa dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid dengan redaksi yang serupa. Dan dari Ibnu Abu Najih, dari Atha dari Ibnu Abbas dia berkata; ayat ini telah menghapus 'iddahnya di rumah keluarganya sehingga ia ber'iddah di tempat yang ia kehendaki, yaitu firman Allah Azza wa Jalla: Tanpa keluar rumah.[20]
Hukum pada QS al-Baqarah (2): 234 di atas, hukum ayat tersebut telah dinasakh[21] oleh Q.S al-Baqarah (2): 240 yang berbunyi:
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[22]
Hukum yang dinasakh di dalam QS al-Baqarah (2): 234 tersebut hanyalah mengenai, perempuan yang ber’iddah pada dasarnya, harus menyelesaikan iddahnya di rumah suaminya. Namun, khusus bagi perempuan yang ditalak mati oleh suaminya (suaminya meninggal dunia), maka perempuan tersebut boleh meninggalkan rumah suaminya, dan terserah bagi dirinya memilih tempat lain untuk menyelesaikan iddahnya, yaitu masa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.
Asbabun Nuzul ayat ketiga yaitu QS At-Thalaq (65): 4. “Ibnu Jarir, Ishaq bin Rahawaih, al-Hakim dan lainnya meriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab yang berkata, “Ketika turun ayat yang terdapat dalam surah al-Baqarah, yaitu yang berbicara tentang masa iddah beberapa kelompok wanita, para sahabat berkata: ‘masih ada beberapa golongan wanita lagi yang belum ditetapkan masa iddahnya, yaitu yang masih kecil,[23] yang sudah tua (sudah menopause), dan wanita yang sedang hamil.’ Allah lalu menurunkan ayat ini.” Riwayat ini sanadnya sahih. Dalam riwayat lain, Muqatil juga meriwayatkan dalam kitab tafsirnya bahwa suatu ketika Khallad bin Amru bin Jamuh bertanya kepada Rasulullah tentang iddah wanita yang tidak haid. Sebagai responsnya, turunlah ayat ini.[24] 

D.      TAFSIR AYAT
QS al-Baqarah (2): 228, QS al-Baqarah (2): 234, dan QS At-Thalaq (65): 4, di atas menggambarkan empat macam perempuan yang melaksanakan iddah yaitu, Pertama, perempuan yang mengalami haid, sehingga untuk menyelesaikan iddahnya ia mesti melaksanakan tiga kali quru’, dengan syarat sudah dicampuri oleh suaminya. Bagi perempuan yang belum dicampuri oleh suaminya, namun talak sudah diterima olehnya, maka tidak kewajiban untuk melaksanakan iddah baginya, sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah[25] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”.[26]

Kedua, iddahnya perempuan yang ditinggal mati suaminya, masa iddahnya yaitu, selama empat bulan sepuluh hari, tentulah dalam hal ini adalah hitungan bulan hijriyah. Khusus iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya, perempuan tersebut boleh memilih tempat iddahnya sendiri, tidak mesti di rumah suaminya.
Para ulama sepakat, jika seorang perempuan ditinggal mati oleh suaminya dan dia tidak dalam keadaan hamil, dia wajib beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Sedangkan perempuan yang ditinggal suaminya dalam keadaan hamil, iddahnya sama dengan perempuan yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil. Keduanya beriddah sampai anaknya lahir,[27] sebagaimana firman Allah:
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.[28]

Selain ayat di atas, ada hadis yang mendukung kesimpulan ini. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ada seorang perempuan Sabi’ah yang melahirkan beberapa malam setelah suaminya meninggal. Dia menemui Nabi dan meminta izin untuk menikah. Beliau mengizinkannya dan menikahlah Sabi’ah yang masih nifas.[29]
Ketiga, iddahnya perempuan yang mengalamai menopause dan perempuan yang tidak mengalami haid, masa iddahnya selama tiga bulan hijriyah. Maksud iddahnya perempuan menopause dan perempuan yang tidak haid disini, adalah perempuan yang sudah dicampuri, tujuan iddah bagi mereka untuk melihat apakah mereka masih bisa mempunyai anak atau tidak. Keempat, iddahnya perempuan yang sedang hamil,[30] iddahnya sampai perempuan tersebut melahirkan.[31]
         
             E.            PENDAPAT ULAMA MENGENAI IDDAH
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah bin al-Fauzan mengatakan hikmah disyariatkannya iddah adalah:
      1.      Untuk memastikan apakah perempuan tersebut sedang hamil atau tidak.
      2.      Syariat Islam telah mensyariatkan masa ‘iddah untuk menghindari ketidak jelasan garis 
          keturunan yang muncul jika seorang perempuan ditekan untuk segera menikah.
      3.      Masa ‘iddah disyariatkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad 
          pernikahan.
      4.    Masa ‘iddah disyariatkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali 
            kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.
      5.   Masa ‘iddah disyariatkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila perempuan 
           yang dicerai sedang hamil.[32]
            
             F.              FENOMENA MENGENAI IDDAH
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, menyebutkan di dalam pasal 14 yaitu berbunyi:
“Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Berdasarkan pasal 14 di atas, maka fenomena yang ada di masyarakat saat ini adalah talak yang jatuh kepada istri dan istripun sudah melaksanakan iddahnya, namun talak dan iddah itu dilaksanakan ketika belum terjadinya persidangan di Pengadilan. Sebab, negara belum mengakui talak yang telah dijatuhkan oleh seorang suami dan pelaksanaan iddah yang dilakukan oleh seorang istri di luar persidangan perceraian. Sehingga, karena dianggap tidak sah oleh negara, membuat sebagian orang dari kalangan suami-istri tersebut kembali melakukan hubungan intim, ketika telah kembali rasa cinta di antara mereka berdua. Memang pada dasarnya talak dan pelaksanaan iddah tersebut sudah sah secara agama walaupun tidak melalui mekanisme persidangan di Pengadilan.
Sebagai warga negara yang baik, hendaklah seorang suami yang hendak mentalak istrinya haruslah melalui jalur persidangan di Pengadilan, walaupun mekanisme-mekanisme yang dilewati sulit, akan tetapi mekanisme-mekanisme yang sulit itu bisa membuat suami berpikir dua kali untuk mentalak istrinya. Kalaupun talak yang dijatuhkan di luar Pengadilan, talak tersebut sudah dianggap sah, hal inilah yang harus dijelaskan ke pada masyarakat bahwa jangan sembarangan mengucapkan kata “talak” pada istrinya, dan mesti dijelaskan pula bahwa, jika negara belum mengakui talak yang diucapkan di luar Pengadilan, bukan berarti suami-istri tersebut bisa kembali melakukan hubungan suami-istri.
KESIMPULAN
Talak yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya, maka istri wajib melaksanakan iddah, yaitu selama tiga kali quru’ bagi istri yang mengalami haid. Seorang perempuan yang sudah mengalami menopause dan perempuan yang tidak pernah mengalami haid, maka masa iddahnya selama tiga bulan. Sedangkan perempuan yang hamil (perempuan  yang dicerai mati, dalam artian suaminya meninggal dunia dan dia dalam keadaan hamil) maka masa iddahnya sampai perempuan tersebut melahirkan.
Perempuan-perempuan yang melaksanakan iddah, harus menyelesaikan iddahnya di rumah suaminya. Kecuali istri yang dicerai mati oleh suaminya. Sebab bagi istri yang dicerai mati oleh suaminya, ia boleh memilih tempat iddahnya sendiri.
Iddah wajib bagi perempuan yang ditalak raj’i maupun yang ditalak bain. Namun, perempuan yang ditalak bain pihak suami tidak bisa ruju’ kembali kepada istri yang telah ditalaknya. Kecuali mantan istrinya tersebut menikah lagi dengan laki-laki lain, lalu dijimak, setelah itu diceraikan. Syarat pelaksanaan iddah adalah istri yang sudah dicampuri oleh suaminya. Kecuali bagi istri yang belum dicampuri oleh suaminya, maka tidak ada kewajiban pelaksanaan iddahnya.
Pelaksanaan iddah disyariatkan bagi perempuan bertujuan untuk menjaga kehormatan keluarga, sehingga dalam masa iddah, mana tahu pihak suami ingin kembali rujuk. Iddah diperlukan agar tidak ada percampuran nasab, jika perempuan yang ditalak itu ternyata sedang dalam keadaan hamil, sekalipun perempuan tersebut tidak pernah sama sekali mengalami haid ataupun sudah menopause. Dengan demikian, pensyariatan iddah ini menunjukan bahwa betapa besarnya perhatian Islam dalam menjaga marwah, harkat dan martabat kaum perempuan.


DAFTARA KEPUSTAKAAN

A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga(negara)an dan Civie Education, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).

Al-Quran dan Terjemahan (1989), Departemen Agama Republik Indonesia, Semarang: Toha Putra.

Dr. Abdul Azim Badawi, al-Wajîz fi Fiqhissunnah wal Kitâbil Azîz, (Faruskur: Dar Ibnu Rajab Mesir, 2001).

Dr. Kadar M Yusuf, M.Ag, Studi al-Quran: (Jakarta: Amzah, 2014).

Dr. Mardani, Tafsir Ahkam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014).

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 1997)

Imam Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistaniy Al-Azdy, Sunan Abu Dawud, Vol. 3, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 1996).

Kementerian Urusan Wakaf Kuwait, Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, (Kementerian Urusan Wakaf Kuwait, 2008).

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan, al-Mulakhash al-Fiqhi (Riyadh: Dar 'Ashamah, 2002/1423 H).

Syaikh Manna al-Qaththan,  Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013).



Catatan Kaki

[1] Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistaniy Al-Azdy, di dalam kitab, Sunan Abu Dawud, Vol. 3, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 1996), h. 571.
[2] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 1997), h. 96.; Tahlaq Raj’i yaitu talaq yang masih memungkinkan bagi suami untuk merujuk kembali. Sedangkan Thalaq Bain yaitu talaq yang sudah jatuh tiga kali, antara keduanya tidak dapat menjalin suami istri lagi, walaupun masa iddah seorang perempuan tersebut sudah habis, tetap saja tidak bisa rujuk. Kecuali jika perempuan itu telah menikah dengan orang lain, lalu melaksanakan jimak dan bercerai dengan suami barunya tersebut.
[3] Dalam kasus khulu’ pihak istrilah yang menghendaki perpisahan. Suami tidak punya hak sama sekali untuk mengajak rujuk. Namun masa iddahnya, istri hanya menunggu sekali haid untuk memastikan tidak adanya janin di rahimnya. (Imtihan Asy-Syafi’i, Tafsir Ayat-Ayat Wanita, Solo, Aqwam, 2009, h. 15-16 sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Mardani, Tafsir Ahkam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014, h. 280). Sedangkan Faskh, sebagian ulama menyamakannya dengan khulu’.
[4]Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan, al-Mulakhash al-Fiqhi (Riyadh: Dar ‘Ashomah, 2002/1423 H), jilid. 2, h. 420).
[5] Kementerian Urusan Wakaf Kuwait, Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, (Kementerian Urusan Wakaf Kuwait, 2008), juz 29, h. 304.
[6] Para Ulama tidak sepakat dalam memaknai Quru’ ada yang mengatakan bahwa Quru’ maknanya suci, dan ada yang mengatakan Quru’ maknanya haid. (penjelasan Dr. Kadar M Yusuf, M.Ag, Studi al-Quran: Jakarta, Amzah, 2014, h. 80). Namun, kedua makna ini (suci dan haid) bisa disatukan yaitu seorang perempuan haruslah suci, makna suci disini bagi perempuan adalah suci dari haid, sebab haid adalah darah kotor yang keluar dari tubuh perempuan. Ketika haid ini selesai, maka perempuan tersebut diwajibkan untuk mandi junub (mandi besar) untuk menyucikan dirinya dari bekas-bekas haid yang menempel di tubuhnya.
[7] Dr. Abdul Azim Badawi, al-Wajîz fi Fiqhissunnah wal Kitâbil Azîz, (Faruskur: Dar Ibnu Rajab Mesir, 2001), h. 329.
[8] Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, Op. Cit., juz.29,  h. 304.
[9] Maksudnya, mana tahu pada beberapa waktu yang telah ditentukan di dalam masa iddah,  seorang suami yang menalak istrinya kembali muncul rasa cinta, yang pada akhirnya rujuk. Kecuali thalaq bain, seorang istri yang di thalaq bain oleh suaminya, maka tidak akan bisa kembali rujuk kecuali istri menikah dengan laki-laki lain lalu bercerai.
[10] Dengan adanya masa iddah ini, seorang perempuan bisa dipastikan apakah dirahimnya ada kandungan ataupun tidak, sehingga tidak akan tejadi percampuran keturunan, jika seorang perempuan tersebut mendapatkan thalaq bain dari suaminya. Sehingga kehormatan keluargapun tetap terjaga.
[11] Mengenai Quru’, sudah dijelaskan sebelumnya (lihat no 5 dalam catatan kaki ini).
[12] Ishlah disini apabila suami-istri tersebut menginginkan untuk ruju’. Namun, para wali yang berhak menikahkan suami-istri tersebut tidak boleh menghalang-halangi suami-istri yang hendak melaksanakan ishlah, sebagaimana bunyi QS al-Baqarah (2): 232, asbabun nuzul ayat ini mengenai Ma’qil bin Yassar yang tidak mau menikahkan adiknya kepada lelaki yang telah menceraikan adinya tersebut, padahal kasus cerainya masih pada tahap talak raji’i.
[13] Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga (lihat QS An-Nisaa' ayat 34).
[14] Al-Quran terjemahan Depertemen Agama Republik Indonesia, 1989.
[15] Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.
[16] Al-Quran terjemahan Depertemen Agama Republik Indonesia, 1989.
[17] Al-Quran terjemahan Depertemen Agama Republik Indonesia, 1989.
[18] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, jilid I, h. 269, sebagaimana dikutip oleh Dr. Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 75 dikutip lagi oleh Dr. Mardani, Tafsir Ahkam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 274.
[19]HR Bukhari no 4167 yang dikutip oleh http://www.mutiarahadits.com/69/06/76/bab-surat-al-baqarah-ayat-234.htm
[20] Ibid.
[21] Nasakh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain. Sedangkan Manuskh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapus (Syaikh Manna al-Qaththan,  Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, ter. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2013, h. 285-286). Dengan kata lain nasakh jika diterjemahkan ke dalam bahasa ilmiah Indonesia disebut amendemen (perubahan). Amendemen adalah perubahan konstitusi yang apabila suatu konstitusi diubah, konstitusi yang asli (yang lama) tetap berlaku (isi ayatnya tidak dihapus, namun pada kondisi tertentu, hukum yang ada di dalam undang-undang yang di amendemen tersebut bisa digunakan kembali seperti halnya), dengan kata lain, perubahan pada model amendemen tidak terjadi secara keseluruhan bagian dalam konstitusi asli sehingga hasil amendemen tersebut merupakan bagian atau lampiran yang menyertai konstitusi awal. Sedangkan mansukh jika diterjemahkan ke dalam bahasa ilmiah Indonesia disebut renewal (pembaruan/diperbarui). Renewal adalah sistem perubahan konstitusi dengan model perubahan konstitusi secara keseluruhan, sehingga yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan, artinya konstitusi yang asli dihapus dan diganti dengan yang baru. (A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga(negara)an dan Civie Education, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012, h. 100).
[22] QS al-Baqarah (2): 240. Terjemahan Depertemen Agama Republik Indonesia, 1989.
[23] Maksud masih keci, juga bisa diartikan perempuan-perempuan yang tidak pernah mengalami haid.
[24] Dr. Mardani, Tafsir Ahkam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 267.
[25] Arti Mut’ah disini bukanlah bermakna,  nikah kontrak sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang kebanyakan. Mut’ah artinya adalah kesenangan atau hiburan, dengan demikian memberikan mut’ah di dalam ayat tersebut adalah memberikan kesenangan.
[26] QS al-Ahzab (33): 49 terjemahan Depertemen Agama Republik Indonesia, 1989.
[27] Dr. Mardani, Tafsir Ahkam, Op. Cit., h. 286-287.
[28] QS ath-Thalaq (65): 4, terjemahan Depertemen Agama Republik Indonesia, 1989.
[29] Imtihan Asy-Syafi’i, Tafsir Ayat-Ayat Wanita, (Solo: Aqwam, 2009), h. 18-19. Sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Mardani, Tafsir Ahkam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 287.
[30] Perempuan yang sedang hamil yang ditalak, hendaklah mantan suaminya memberikan nafkah kepadanya sebagaimana bunyi QS at-Thalaq (65): 6, yaitu: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
[31] Dr. Mardani, Tafsir Ahkam, Op. Cit., h. 267
[32] Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan, al-Mulakhash al-Fiqhi, Op. Cit., jilid. 2, h. 419-420.

No comments: