Monday, January 28, 2019

Nak, Teruskan Perjuangan Abah!


Nak, Teruskan Perjuangan Abah!
(Telaah Buku Ombak Sekanak, Otobiografi Rida K Liamsi, Perspektif Pendidikan Islam)
Sudah diterbitkan di Riau Pos 4 Desember 2014

Ditulis oleh Herif De Rifhara, S.Pd.I, M.Pd.I



“Ayah kaulah yang mengislam orang di sini” 

Membaca kutipan di halaman 41 ini membuat bulu roma saya berdiri sehingga menitikkan air mata, sampai-sampai saya merasa iri akan sepak terjang seorang pendakwah yang sengaja menyusup masuk untuk menjadi pegawai Belanda yaitu menjadi penjaga mercusuar.

Sebagai penjaga mercusuar, Abdul Kadir Bin Samad ayahanda tercinta Rida K Liamsi atau Ismail Kadir ini memanfaatkan pekerjaan yang diterimanya dari Pemerintahan Hindia Belanda waktu itu, untuk berdakwah di Midai, Subi, Temiang, Muci, Gentar, Telunjuk, sampai ke Alang Tiga, pulau-pulau yang terdapat mercusuar-mercusuar di Provinsi Riau Kepulauan. Tidak hanya mengajarkan Islam dan menjadi Tuan Kadi, ia selalu memasukkan pikiran-pikiran kritisnya kepada anggota masyarakat untuk melawan setiap kebatilan. Sehingga namanya pun terkenal ke seluruh pelosok di sekitar tempat ia bekerja. Tapi apalah daya, memanglah benar, apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah di dalam bukunya Fawaid Al-Fawaid yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 2012 dengan judul “Meraih Faedah Ilmu” halaman 169 bahwa, “Barangsiapa yang beriman kepada para Rasul dan menaati mereka maka manusia akan memusuhinya dan menyakitinya.”

Menaati para Rasul saja, maka manusia-manusia yang tidak suka pada kebenaran akan membencinya, apalagi menyiarkan atau menyampaikan pesan Allah dan Rasul-Nya kepada seluruh manusia. Sepak terjang sang penolong agama Allah ini pun akhirnya tercium oleh Belanda, ia dipecat tanpa alasan.

Ketakutan Belanda akan kembalinya semangat jihad yang sudah lama terpendam adalah alasan terkuat pemecatan itu. Mendengar berita pemecatan yang dilakukan oleh Belanda tanpa alasan yang jelas, Batin Hasan seorang kepala kampung di Bakong, sebuah kampung di pulau terpencil yang tidak terdeteksi oleh peta dan mungkin satelit sekalipun, meminta Abdul Kadir untuk tinggal di Bakong, dan permintaan itupun dituruti oleh Abdul Kadir. Inilah mungkin yang dimaksud firman Allah yang berbunyi: “Dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya. Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS Al Hadid: 25).

Abdul Kadir Bin Samad telah menunjukkan kesungguhan itu. Dan Allah Yang Maha Penolong, menolongnya melalui tangan Batin Hasan.  Ayat ini, menjelaskan bahwa, Allah ingin melihat keteguhan seorang hamba yang bernama Abdul Kadir dengan cara ia dipecat dari pekerjaannya dan juga seolah-olah Allah SWT memerintahkan Abdul Kadir untuk berdakwa di Bakong. Dipecat dari pekerjaan, tidak membuat diri Abdul Kadir mundur dari dunia dakwah dan mengembangkan pendidikan Islam di tanah yang dikelilingi laut.

“Tapi ayahku tergoda dengan bujuk rayu Batin Hasan, apalagi ke Bakong itu ada mimpi ideal yang memenuhi hatinya. Dakwah! Kononnya” (Rida K Liamsi: 31). 

Sama sekali tidak, tidak ada kata konon bagi para pendakwah sejati, apalagi setetes suraupun yang bisa menjadi ikon pendidikan Islam belum berdiri di pulau yang dikelilingi ombak ketika itu.

Memilih Tanah Sekanak atau Bakong daerah yang terisolir di Riau Kepulauan untuk menegakkan panji-panji Islam dan mencari keridaan Allah serta pertolongan-Nya, merupakan tantangan bagi para pendakwah yang benar-benar telah menyerahkan dirinya kepada Allah SWT, untuk membuktikan keimanannya kepada Allah.

Apa yang dilakukan oleh Abdul Kadir Bin Samad di Bakong yakni, mengislamkan orang yang belum menjadi Islam adalah hal luar biasa yang selalu diimpi-impikan oleh setiap para dai. Oleh karena itu, saya merasa iri dengan sepak terjang Abdul Kadir, dan membuat saya berpikir dan berfantasi “andai Abdul Kadir bin Samad adalah ayah atau datuk saya.” Dan pantaslah bagi Abdul Kadir dijadikan sebagai lambang pengislamisasian di tanah Bakong yang di kelilingi ombak sekanak. Atau menjadi sebuah catatan sejarah Islam yang ditulis di buku-buku sejarah Islam Kepri sebagai penyebar Islam di Bakong. Dan ia telah menorehkan tinta emas dalam perjalanan sejarah Islam.

Tidak hanya mengislamkan orang yang belum menjadi Islam, mengislamkan orang yang sudah menjadi Islampun dilakukan oleh Abdul Kadir di Bakong. Tugas inilah yang paling sulit yang dialami oleh setiap para pendakwah. Banyak orang yang sudah menyatakan dirinya Islam, tapi belum paham dengan hukum Islam dan bahkan huruf-huruf Hijaiyah pun belum mereka kenal sama sekali. Seperti halnya ketika ayahanda Rida K Liamsi ini berdebat dengan pemungut pajak: “Cakap dengan Amir (maksudnya Pak Camat), jangan pungut blasting di sini. Kami semua miskin. Makan saja susah. Harga getah murah. Blasting ini dibayar, kalau orang kampung mampu. Zakat Fitrah dalam Islam juga begitu. Jadi, bebaskan saja,” teriaknya.” (Rida K Liamsi: 32).

Tidak ada penjelasan pada masa apa kejadian itu terjadi, entah masih pada masa penjajahan Belanda atau RI sudah merdeka. Kalaupun masih di masa penjajahan Belanda maka tidaklah mengherankan, karena bagaimanapun para penjajah hendak menguras kekayaan dan tenaga bangsa yang dijajahnya.  Jika kejadian itu sudah memasuki priode kemerdekaan RI, maka saya teringat pada zaman Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, rakyat Umayah dibebaskan dari pajak, padahal di masa Umar Bin Abdul Aziz adalah masa-masa kejayaan. Sedangkan di negeri ini ternyata semenjak memasuki kemerdekaan, masa sulitpun (paceklik) dimintai pajak. Dan pada masa kini pun, pajak itu bukannya sampai ke kas negara, melainkan pajak malah menjadi lahannya para koruptor.

Inilah yang harus diislamkan oleh para pendakwah, inilah yang saya sebut “mengislamkan orang yang sudah menjadi Islam”.  Karena yang melakukan pencurian itu bukan umat lain melainkan sebagian umat Islam yang mengaku sudah Islam. Dan seharusnya orang yang telah mengaku sebagai Islam, haram baginya mengambil sesuatu yang bukan miliknya.

Nyaris Tak Pernah Sakit
Pertolongan Allah kepada Abdul Kadir yang lain adalah “nyaris tak pernah sakit”. Allah memberikan nikmat kesehatan bagi orang yang berjihad di jalan Allah, walau hidup sederhana. 

Tidak hanya Nabi Muhammad SAW, para ulama-ulama penerus Nabi pun, kalimat inilah yang cocok untuk mereka “nyaris tak pernah sakit” terkadang “tidak ada sakit sedikit pun.” Inilah pertolongan Allah, sebagaimna yang difirmankan-Nya: “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,” (QS Al Hajj : 40).

Allah yang membuat para pendakwah yang sebenarnya sebagai orang-orang yang meneruskan perjuangan  Rasulullah SAW, mendapatkan pertolongan yakni diberi kesehatan sampai akhir hayat.

“Il,  kau  sudah  sembahyang?”
“Kan sudah belajar mengaji, sudah belajar sembahyang. Ya, sembahyanglah. Kalau belum sembahyang, belum Islam namanya.” (Rida K Liamsi: 34). 

Teguran seorang ayah kepada anak ini merupakan penyampaian pendidikan melalui keluarga. Ki Hajar Dewantara menjelaskan mengenai tri pusat pendidikan bahwa, pendidikan dapat disampaikan kepada anak didik melalui tiga lembaga, yakni; keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakatnya. 

Ketiga lembaga ini mempunyai hubungan yang saling terkait antara satu sama lainnya yaitu, keluarga sebagai pengembangan pendidikan pertama. Setelah itu, menyerahkan anaknya ke sekolah yang bisa dipercayai, agar seorang anak bisa lebih lanjut mempelajari sebuah nilai-nilai ketakwaan dan moralitas yang pada akhirnya sekolah menghasilkan out put atau keluaran. 

Keluaran di sini maksudnya siswa-siswa yang dapat diandalkan di tengah masyarakat dan nantinya siswa-siwa tersebut kembali lagi kepada lembaga keluarga dan melahirkan generasi selanjutnya. Dan saya menyebut ini sebagai siklus pendidikan.

Pendidikan yang dilakukan oleh Abdul Kadir tidak lain mengembangkan sikap afektif (sikap akhlak) terhadap Allah SWT.  Sehingga dalam diri anaknya dapat terlaksana perintah-perintah Allah yang di laksanakan dalam bentuk psikomotorik (gerakan anggota badan). Namun sebelumnya, Abdul Kadir mengembangkan kognitif (pengetahuan/intelektual) kepada anaknya, tentang orang-orang yang masih meninggalkan salat, yakni beliau mengatakan “kalau belum salat, belum Islam namanya.” Dan inilah bentuk usaha yang dilakukan oleh Abdul Kadir bin Samad terhadap anaknya. 

Sebagaimana pengertian pendidikan itu sendiri, bahwa pendidikan adalah usaha bimbingan yang dilakukan oleh manusia yang telah matang kepribadiannya terhadap manusia yang belum sempurna kepribadiannya, agar dalam diri manusia yang belum sempurna tersebut, memiliki nilai-nilai moralitas dari pengetahuan yang ia dapatkan dari manusia yang membimbingnya.

“Il,  kau  sudah  sembahyang?” kalimat yang terdapat pada halaman 34 ini, Rida K Liamsi mejelaskan bahwa pertama kalinya, ayahnya berbicara kepada Rida K Liamsi. Karena kali pertamanya Abdul Kadir berbicara kepada anaknya ini, saya menafsirkan kalimat ini yakni, ada pesan yang tersirat dari sang ayah kepada anaknya. Tersebab setiap orangtua memiliki cita-cita penting di mana sang anak lah yang mungkin bisa melaksanakan cita-cita tersebut. Ketika sang ayah merasa tidak sanggup untuk menjalankan apa yang dicita-citakannya. 

Kemungkinan ada doa yang menjadi harapan dari sang ayah untuk anaknya, Rida K Liamsi sebagai pelanjut apa yang diusahakan ayahnya. Apalagi ayahanda tercinta Rida K Liamsi ini adalah seorang pendakwah di pulau yang di keliling ombak Sekanak. Dan setiap para dai dan orang saleh selalu memiliki cita-cita terhadap anaknya.

Sebagaimana yang terjadi pada Imam Ghazali, ayahnya Imam Ghazali selalu berdoa kepada Allah SWT, setiap kali ayanya melihat seorang dai, sehingga doa yang dilantunkan adalah “Ya Allah jadikanlah anakku seperti dai ini” maka Allah mengabulkan doa ayahnya Imam Ghazali dan melahirkan Ghazali yang ayahnya cita-citakan. Padahal ayahnya Imam Ghazali tersebut, hidup dalam kemiskinan. Ayahnya Imam Ghazali, hanya meminta seorang anak yang bisa menjadi ulama atau setidaknya seorang anak yang bisa menyumbang untuk Islam. sehingga nama anaknya tercatat sebagai orang-orang pilihan di sisi Allah SWT. Ketika seorang anak telah menjadi orang-orang pilihan di sisi Allah SWT. Maka pahala yang dihasilkan oleh anak tersebut akan mengalir kepada kedua orang tuanya. Sebagaimana hadis Nabi yang menjelaskan: “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya (mendoakan kedua orang tuanya)”. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i)

Pertama, sedekah jariyah merupakan sedekah seperti membangun masjid, sekolah dan fasilitas yang bisa orang-orang rasakan manfaatnya atau hanya sekadar sedikit untuk bersedekah kepada fasilitas tersebut. Ketika orang-orang merasakan manfaat dari apa yang disedekahkan tersebut atau selama orang-orang yang memakai apa yang disedekahkan itu, maka pahala akan terus mengalir kepada orang yang telah menyedekahkan pembangunan itu. 

Kedua, ilmu yang bermanfaat adalah guru-guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya. Ketika ilmu pengetahuan itu dilaksanakan atau diamalkan anak didiknya maka pahala akan mengalir kepada guru yang mengajarkan ilmu tersebut. Seperti contoh, ketika seorang guru mengajar membaca Alquran kepada seorang murid, maka tiap kali murid tersebut membaca Alquran maka pahala tidak hanya didapati oleh murid tersebut, akan tetapi pahala membaca al-quran juga akan mengalir kepada gurunya. 

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa keluarga adalah lembaga pertama dalam membimbing manusia, maka guru pertama adalah sang ayah dan muridnya adalah anak kandungnya sendiri. 

Ketiga, doa anak yang saleh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. Doa tidak hanya dilantunkan ketika seorang anak melaksanakan salat lima waktu, akan tetapi doa bisa di mana saja dan kapan saja. 

Makna doa anak yang saleh tidak hanya bermakna doa yang dilantunkan, akan tetapi anak-anak yang senantiasa melakukan kebaikan, apakah itu kebaikan berupa sedekah jariyah, mengajar seorang murid, dan melaksanakan perintah-perintah Allah yang wajib, seperti salat, berpuasa, berzakat dan pergi haji. 
Maka tiap kali ia melakukan kebaikan-kebaikan tersebut, pahala akan mengalir kepada orang tuanya dan hal tersebut termasuk doa anak kepada orang tuanya. Tersebab, pertama kali yang membimbing dan membiayai seorang anak untuk mengeyam pendidikan adalah lembaga keluarga. 

Makna orangtua tidak hanya sebatas orang tua di rumah tetapi guru yang ada di sekolah juga merupakan bagian dari orang tua. Artinya seorang anak didik apabila melakukan kebaikan-kebaikan maka pahala tidak hanya mengalir kepada ayah dan ibunya sebagai guru pertama, akan tetapi pahala tersebut juga akan mengalir kepada guru-guru di sekolah yang mengajarinya. Dengan demikian seorang ayah yang saleh yang telah membimbing anaknya, berharap anaknya menjadi orang-orang pilihan di sisi Allah SWT, untuk meneruskan apa yang dicita-citakan seorang ayah. Cita-cita yang tidak dapat dilaksanakan oleh seorang ayah karena keterbatasan. Apakah keterbatasan yang berbentuk ilmu yang banyak atau keterbatasan uang untuk bisa membangun dan mengembangkan pendidikan Islam. 

          Walaupun memang dijelaskan dalam buku yang ditulis Rida K Liamsi ini bahwa, ketika Adul Kadir bin Samad telah berada di Pulau Bakong maka suraupun berdiri, namun cita-cita itu tidak hanya sebatas surau. Surau yang merupakan sebagai cikal bakal dari masjid. Tetapi ada cita-cita yang lebih besar yakni berdirinya sebuah media yang bisa berpengaruh lebih luas lagi terhadap perkembangan pendidikan Islam yakni, pesantren ataupun sebuah madrasah ataupun sebuah sekolah Islam terpadu.  Karena hal inilah yang membuat saya memaknai kalimat “Il,  kau  sudah  sembahyang?” tidak lain bermakna “Nak, Teruskan Perjuangan Abah!” dengan demikian janji Allah akan terlaksana sebagaimana yang difirmankan: “Hai  orang orang  yang  beriman,  jika  kamu  menolong  (agama)  Allah,  niscaya  Dia  akan  menolongmu  dan  meneguhkan  kedudukanmu” (QS Muhammad : 7).***


No comments: