Saturday, February 9, 2019

Makalah Mahram Dalam Pernikahan & Hukum Nikah Sesuku


MATA KULIAH:

Ayat-Ayat Hukum Keluarga



Makalah:

Mahram







DISUSUN OLEH:
ARISMAN
diedit oleh: 
Herif De Rifhara,
 Bagian Sub Judul 
Nikah Sesuku dan Penyakit 'Ain


Dosen Pembimbing:
Dr. H. Mustafah Umar, Ma



JURUSAN HUKUM ISLAM

KONSENTRASI S3 HUKUM KELUARGA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

2016

Pendahuluan
Mahram[1] merupakan masalah penting dalam Islam ia memiliki beberapa pengaruh dalam tingkah laku, hukum-hukum halal atau haram. selain itu juga, mahram merupakan kebijakan Allah Swt dan kesempurnaan agama-Nya yang mengatur segala kehidupan. Untuk itu, seharusnya kita mengetahui siapa-siapa saja yang termasuk mahram dan hal-hal yang terkait dengan mahram.
                Banyak sekali hukum tentang pergaulan wanita muslimah yang berkaitan erat dengan masalah mahram, jika diteliti bersama, fenomena hari ini sangat memilukan, disebabkan ketidak tahuan sebagian wanita muslimah secara pasti, siapa saja yang menjadi mahramnya, sehingga berimplikasi (berdampak) pada hukum-hukum Islam seperti hukum safar, khalwat (berdua-duaan), pernikahan, perwalian dan lain-lain.[2]
                Ironisnya, masih banyak dari kalangan kaum Muslimin yang belum memahaminya. Sehingga mereka menganggap permasalahan ini adalah permasalahan yang biasa, padahal jika hal ini dibiarkan begitu saja akan menambah terjadinya kemaksiatan yang terkadang berujung pada perzinahan.
                Selain itu masalah mahram  ini juga merambah kepada nikah sesuku. Permasalahannya kemudian adalah apakah nikah sesuku tersebut termasuk penentangan terhadap aturan mahram atau tidak. Perbincangan ini terus bergulir hingga memunculkan kelompok-kelompok yang menentang dan bahkan menganggap bid’ah para pendukung larangan nikah sesuku.
                Dan dari tema inilah, penulis berusaha mencoba mengangkat dan membahas permasalahan tersebut agar menjadi Bashirah (pelita) dan bahan  diskusi bagi kita bersama.

PEMBAHASAN
            A.    Ayat-Ayat Yang Berbicara Tentang Mahram[3]
Ada beberapa ayat yang menjelaskan tentang mahram, di antaranya adalah:
Ayat pertama: Surah An-Nisa: 22
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُڪُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَ‌ۚ إِنَّهُ ۥ ڪَانَ فَـٰحِشَةً۬ وَمَقۡتً۬ا وَسَآءَ سَبِيلاً (٢٢)

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

Ayat kedua: Surah An-Nisa: 23-24

حُرِّمَتۡ عَلَيۡڪُمۡ أُمَّهَـٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٲتُڪُمۡ وَعَمَّـٰتُكُمۡ وَخَـٰلَـٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَـٰتُڪُمُ ٱلَّـٰتِىٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٲتُڪُم مِّنَ ٱلرَّضَـٰعَةِ وَأُمَّهَـٰتُ نِسَآٮِٕكُمۡ وَرَبَـٰٓٮِٕبُڪُمُ ٱلَّـٰتِى فِى حُجُورِڪُم مِّن نِّسَآٮِٕكُمُ ٱلَّـٰتِى دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡڪُمۡ وَحَلَـٰٓٮِٕلُ أَبۡنَآٮِٕڪُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَـٰبِڪُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا (٢٣)۞ وَٱلۡمُحۡصَنَـٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُڪُمۡ‌ۖ كِتَـٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ‌ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٲلِڪُمۡ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٲلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَـٰفِحِينَ‌ۚ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡہُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً۬‌ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٲضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمً۬ا (٢٤)  
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

          B.  Penjelasan Beberapa Kata[4]
سلف        : yang telah lalu, yaitu orang-orang yang terdahulu dari kalangan orang tua dan karib
   dan karib kerabat.
            فاحشة      : Menurut bahasa yaitu:   النهاية فى القبح  (Puncaknya kejelekan dalam arti sangat jelek).
  Disebut dengan Fahisyah, karena merupakan puncak dari kejelekan.
            مقتا          : artinya  asal    dari     maqta     adalah     kebencian,     yaitu     sesuatu     yang    tidak
  disenangi/dibenci menurut rasio sehat.
 ساء سبيلا             : Cara/jalan yang keji dan tercela yang biasa mereka tempuh pada masa jahiliyah
ربائبكم                  : Bentuk plural/jamak dari ربيبة  , yaitu anak perempuan dari suami yang lain (anak
   tiri). Dinamai dengan rabaib karena suami mendidik dan membesarkannya.
            حلائل     : Yaitu istri-istri dan ia merupakan  bentuk  plural  dari  kata حليلة ,   dinamai  demikian
   Karena kedua suami istri tersebut menjadi hala satu sama lain.
  المحصنات          : Kata-kata ihsan atau yang seakar kata dengan itu, pengertian dalam al-Quran  tidak
  lebih dari 4 arti:  al-Tazawwuj,  al-Islam,  al-‘Iffah  dan  al-Hurriyah.  Tetapi,  maksud
  dalam ayat ini adalah perempuan-perempuan yang memiliki suami.
محصنين               : yaitu orang-orang yang bersih dari perbuatan keji dan mesum.
مسافحين                : al-sifah wa al-musafaahat artinya adalah orang yang berbuat dosa dan kesalahan,
  secara   etimologi   kata   ini  mempunyai  arti  mengalirkan/menumpahkan,  karena
  tujuan orang yang berszina tiada lain adalah menumpahkan sperma.
          C.  Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Tentang Mahram
Surat An-Nisa: 22[5]
Dikemukan oleh Ibnu Abi Hatim, Al-Farabi dan Ath-Thabrani yang bersumber dari ‘Adiy bin Tsabit dari seseorang laki-laki Anshar. Seorang laki-laki  Anshar  itu berkata: Abu Qais bin Aslat yang termasuk orang saleh Anshar meninggal dunia. Lalu anak laki-lakinya meminang istrinya.  Maka berkata istri Qais itu: “Aku anggap kamu anakku dan termasuk dari kaummu yang saleh.” Lalu perempuan itu datang menghadap Nabi Saw untuk menerangkan kejadiannya tadi. Maka Nabi memerintahkan untuk kembali ke rumah. Lalu turunlah ayat ini sebagai mengenai ketentuan larangan mengawini ibu tiri.”
Dikemukakan oleh Ibnu Said yang bersumber dari Muhammad bin Ka’ib al-Qarzhi. Muhammad berkata: “Apabila seorang laki-laki meninggal dunia yang meninggalkan isteri, maka anak laki-lakinya lebih berhak terhadap ibu tirinya, hendaknya ia kawin atau ia kawinkan dengan orang lain terserah.”
Dikemukakan pula oleh Ibnu Sa’id yang bersumber dari al-Zuhri. Al-Zuhri berkata: “ayat ini diturunkan mengenai orang-orang Anshar yang apabila ada  seseorang laki-laki meninggal dunia, maka walinya lebih berhak memiliki isterinya dan menguasai hingga isteri yang meninggal dunia itu wafat.”
Surat An-Nisa: 23-24[6]
Dikemukan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraj, Ibnu Juraij berkata: “Saya bertanya kepada ‘Atha’ mengenai wa halaailu abnaaikum alladziina min ashlaabikum, dia menjawab: Kami pernah memperbincangkan, bahwa ayat itu diturunkan mengenai Nabi Muhammad Saw ketika menikahi isteri Zaid bin Haritsah (Zainab binti Jahsy). Orang-orang musyrik berkata yang tidak-tidak. Maka turunlah ayat wa halaailu abnaaikum alladziina min ashlaabikum,  dan turunlah pula 2 ayat yaitu surat al-ahzab: 4 dan surat al-ahzab: 40.[7]
Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Nasa-i yang bersumber dari Abi Sa’id al-Khudri berkata: Kami (para sahabat) mendapatkan beberapa tawanan perempuan yang sudah bersuami dari peperangan Authas.  Mereka enggan digauli oleh yang berhak terhadap tawanan itu. Lalu kami bertanya kepada Nabi Saw, maka turunlah ayat  wa al-muhshaanaat min al-nisaa-i ilaa maa malakat aimanukum. Nabi Saw bersabda: “...... kecuali harta rampasan yang diberikan Allah kepada kalian, maka halal bagi kita kemaluan-kemaluan mereka.”
Dikemukakan oleh at-Thabrani yang bersumber dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata: ayat itu diturunkan pada waktu perang Hunain, ketika Alla memberikan kemengan kepada orang-orang Islam dan mendapatkan tawanan beberapa orang perempuan ahli kitab yang sudah bersuami. Ada seorang laki-laki (muslim) apabila hendak menggauli seorang perempuan dari tawanan tersebut, perempuan itu selalu enggan dan berkata: “Sesungguhnya saya sudah bersuami”. Lalu bertanyalah ia kepada Rasulullah Saw mengenai hal tersebut. Maka turunlah ayat wa al-muhshaanaat min al-nisaa-i  sampai akhir ayat.
Firman Allah Swt   wa laa junahaa ‘alaikum fimaa taraadhaitum bihii min ba’di al-faridhah. Dikemukakan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ma’mar bin Sulaiman dari bapaknya. Bapak Jarir berkata: Orang Hadharamy menganggap bahwa orang laki-laki dibebani membayar mahar dengan harapan dapat memberatkannya (sampai tidak dapat membayar tepat pada waktunya untuk mendapatkan tambahan pembayaran). Maka turunlah ayat wa laa junahaa ‘alaikum fimaa taraadhaitum bihii min ba’di al-faridhah.

            D.     Pendapat Ulama
Dalam tulisan ini penulis hanya memaparkan beberapa pendapat para ahli yang berkaitan dengan surat an-Nisa: 22-24.
Imam al-Qurtubi, ketika mengomentari ayat 22. Menyebutkan bahwa mengawini isteri bekas ayah (ibu tiri) adalah merupakan sebuah tradisi dan kebiasaan bagi sebagian kabilah-kabilah Arab pada masa Jahiliyah, di mana mereka sering menggauli dan mengambil alih isteri-isteri bekas ayahnya, setelah ayah tersebut meninggal dunia, hingga memmpunyai anak yang diberi nama Musafir dan Abu Mu’ith, begitu pula Sofwan bin Umayyah bin Khallaf yang mengambil istri bekas ayahnya, yaitu Fatihah binti al-Aswad bin al-Muthalib bin Asad.[8] Kemudian Allah menurunkan ayat ini  sebagai larangan untuk mengulangi perebuatan tersebut, hingga ia dianggap sebagai فاحشة dan مقتا yaitu perbuatan yang sangat jelek dan tidak disenangi. Kecuali perbuatan itu dilakukan pada lalu, hal ini akan diampuni oleh Allah dan tidak akan disiksa.[9]
Mufassir Kabir Imam al-Razi ketika menafsirkan ayat:

إنّهُٰ كَانَ فٰحِشَةً وَمَقْتاً وَسَآءَ سَبِيْلاً
                Menyatakan bahwa القبح (kejelekan) ada 3 macam dan tingkatan yaitu, عقلي, شرعي, dan عادي. Larangan dalam menikahi isteri-isteri bekas ayah, terkumpul ketiga tingkatan kejelekan tersebut, yang dalam hal ini menandakan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yanga sangat keras sekali dilarang oleh Allah Swt. Kejelekan tersebut adalah:
·         فٰحِشَةً adalah قبح العقلي
·         مَقْتاً adalah قبح الشرعي
·         سآء adalah قبح العادي
Apabila ketiga kejelekan tersebut telah terkumpul menjadi satu dalam sebuah kegiatan, maka perebuatan tersebut menunjukkan kejelekan luar biasa.[10]
Menurut tafsir Fii Zhilalil Quran  Sayyid Qutub dikatakan, bahwa perempuan yang haram dinikahi  itu sudah terkenal (masyhur) pada semua umat, baik yang masih konservatif maupun yang sudah maju.[11]
Perempuan-perempuan yang haram dinikahi menurut Islam adalah gologan perempuan yang dijelaskan di dalam surat an-Nisa: 22-24. Sebagiannya diharamkan untuk selamanya (Yakni,  selamanya tidak boleh dinikahi) dan sebagiannya diharamkan dinikahi dalam kurun waktu tertentu.[12]
Hukum diharamkannya menikahi perempuan untuk selamanya terbagi menjadi beberapa bagian. Sebagian disebabkan karena hubungan nasab, sebagian disebabkan hubungan persusuan dan sebagiannya disebabkan hubungan mushaharah (perbesanan).[13]
Mahram karena hubungan nasab menurut syari’at Islam ada 4 tingkatan; Pertama, ushul, yakni yang menurunkan dia terus ke atas. Kedua, cabang (keturunan) ke bawah. Ketiga, keturunan dari kedua orang tua terus ke bawah. Keempat, keturunan langsung dari kakek neneknya.
Keturunan yang tidak langsung dari kakek-nenek halal dinikahi. Oleh karena itu, dihalalkan menikah antara anak-anak paman dengan anak-anak bibi.
Adapun yang diharamkan karena perbesanan itu ada 5, diantaranya:
1.       Bekas isteri ayah
2.       Bekas isteri anak
3.       Ibu dari isteri
4.       Anak dari isteri. Keharaman ini terjadi apabila lelaki itu telah mencampuri ibunya.[14] (penjelasan mengenai haramnya mertua dinikahi ada dicatatan kaki no 14 ini, lihat pojok paling bawah)
5.       Saudara perempuan dari isteri. Akan tetapi keharamannya ini dalam waktu tertentu, yaitu selama isteri masih hidup dan menjadi isteri dari lelaki yang bersangkutan.[15]
Juga diharamkan menikah dengan seseorang karena adanya hubungan persusuan.[16] Sebagaimana diharamkannya menikahi dengan orang yang ada hubungan nasab dan perbesanan. Keharaman menikah karena hubungan ini meliputi 9 orang mahram, yaitu:
1.       Ibu susuan dan ushul-nya terus ke atas.
2.       Anak perempuan susuan dan anak-anaknya terus ke bawah.
3.       Saudara perempuan persusuan dan anak-anaknya terus ke bawah.
4.       Saudara perempuan ayah dan saudara perempuan ibu sepersusuan.
5.       Ibu susuan dari isteri
6.       Anak susuan isteri
7.       Bekas isteri ayah atau kakek susuan
8.       Isteri  anak susuanya terus ke bawah
9.       Memadu, menghimpun antara seorang perempuan dengan saudara perempuan sepersusuan atau dengan bibi sepersusuan isterinya atau perempuan manapun yang punya hubungan kemahraman dengannya karena persusuan.[17]
Selain hukum diharamkannya menikahi perempuan untuk selamanya karena berdasarkan mahram, juga ada hukum dilarangnya menikahi perempuan untuk sementara, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.       Mengumpulkan 2 saudara perempuan sekandung dan
2.       Menikahi seorang perempuan yang sedang dalam ikatan pernikahan atau perempuan yang sedang berada dalam masa iddah
Hal ini dapat dilihat firman Allah:
وَحَلَـٰٓٮِٕلُ أَبۡنَآٮِٕڪُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَـٰبِڪُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا
dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Penggalan ayat ini menegaskan 2 hal yang haram dikerjakan oleh seorang muslim, yaitu menikahi istri anak atau menantu dan memadu 2 orang perempuan yang bersaudara kandung. Larangan dalam ayat ini adalah secara mutlak. Ia tidak menjelaskan syarat apa-apa, baik menantu itu telah digauli sebelum diceraikan oleh anaknya ataupun belum digauli. Oleh karena itu ayat tersebut harus pula dipahami secara  mutlak. Maka sang ayah tidak boleh menikahi janda anaknya.
Selanjutnya ayat ini juga menjelaskan perempuan yang tidak boleh dipoligami oleh seorang laki-laki yaitu terhadap 2 orang perempuan yang bersaudara,  akan tetapi apabila laki-laki tersebut sudah bercerai dengan istrinya atau istrinya meninggal dunia,  maka dia boleh menikahi saudara perempuan dari pihak mantan istrinya.

C.            Nikah Sesuku dan Penyakit ‘Ain
                Adanya larangan pernikahan sesuku di dalam sebuah adat yang sudah dibangun sejak lama, mau tidak mau masyarakat harus tunduk pada aturan tersebut. Menjadi sebuah problem yang saling bertolak belakang, ketika agama membolehkan nikah sesuku, sementara adat melarangnya.
                Dalam Islam siapa-siapa saja yang diharamkan untuk dinikahi sudah tertuang di dalam QS. An-Nisa’: 22 s/d 24 dan sama sekali tidak ada menyinggung masalah kesukuan. Kalaulah istilah sesuku (1 suku) disama artikan dengan sesusuan (1 susuan), maka ini adalah sesuatu yang keliru. Sebab di dalam QS  An-Nisa’: 22 s/d 24 di dalam kosa kata bahasa Arabnya tidak ada menyebut suku (Qabilah), antara Qabilah yang artinya suku dan Labbnan yang artinya susu adalah kosa kata yang tidak  sama dan tidak mirip sama sekali.
Larangan menikah sesuku ini adalah larangan adat yang bertentangan dengan al-Quran dan wajib ditinggalkan. Akan tetapi jika seseorang masih takut untuk melaksanakan nikah sesuku, lebih baik nikah sesuku ditinggalkan saja, sebab untuk  menghindar dari penyakit ‘Ain, yaitu penyakit yang ditimbulkan dari pandangan-pandangan mata dengki dari orang-orang yang tidak menyukainya. Pandangan-pandangan dengki itu akan bisa mengirimkan energi buruk sehingga bisa menimbulkan penyakit, kecuali dia meminta perlindungan kepada Allah dari penyakit ‘Ain, sehingga dia yakin untuk melaksanakan nikah sesuku, tanpa memperdulikan pandangan dengki dari setiap mata yang memandang dengan kedengkian, karena  dia  telah meyakini Allah telah melindunginya, sebab dia senantiasa mengucapkan dzikir:
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانِ وَ هَامَّةٍ وَ مِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari godaan setan, binatang beracung dan dari pengaruh ‘ain yang buruk.” (HR. Bukhari dalam kitab Ahaditsul Anbiya’: 3120)

Atau dengan doa,
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari kejahatan makhluk-Nya.” (HR. Muslim 6818).

Tidak mengherankan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa nikah sesuku itu akan menghasilkan keturunan yang cacat, dan pernikahan tidak akan berjalan lancar, hal ini disebabkan oleh penyakit ‘ain yang ditimbulkan tersebut, bukan disebabkan oleh marahnya ruh leluhur atau disebabkan mitos-mitos yang bertentangan dengan ajaran Islam. oleh karena itu marilah kita senantiasa berlindung dari penyakit ‘Ain. Rasulullah Bersabda:
Pengaruh ‘ain itu benar-benar ada, seandainya ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, ‘ainlah yang dapat melakukannya” (HR. Muslim)

Daftar Kepustakaan
Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashal fii ahkamil mar’ati wa baitil muslim fii syari’ati islamiyyah jilid. 3.

Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jaami’ li Ahkam al-Quran, Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1965, jilid 5.

Abi Bakar Ahmad bin Ali al-Razi al-Jashash, Ahkam al-Quran, Kairo: Isa al-Bab al-Halabi, tt. J. 10.

Abu Zahra, Ushul Fiqh, Damaskus: Daar al-Fikr.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta: Nurhidayah, 1998.

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsirnal-Maraghi, Kairo: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1974, J. 5.

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Indonesia – Arab,  Surabaya: Pustaka Progressif, cet. 14, 1997.

Chaerul Uman, at all,  Ushul Fiqh 1, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Ibnu Hazm Ad-Dhohiri, Al-Muhalla bil Atsar 2/10, Mustafa Al-Adhawi Jami’ Ahkamun Nisa’ 3/47.

Imam Jalaludin al-Suyuti, Asbaab al-Nuzul, Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqofiyah, 1422 H.
Muhammad Jamaludin al-Qasimi, Mahaasin al-Ta’wil, T.tp: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Jilid. V, 1957.

Muhammad Khasyad, Fiqhu Nisaa’ Fii Wudhuil Madhahibil ‘Arba’ah, Al-Qohirah: Darul Kutub Al-Mu’asiroh, 1994.

Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986.

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul  Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011

Sayyid Qutb, Tafsir Fii Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, jilid 2

Syaikh Muhammad Ali Ash-Shobuny, Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam min al-Quran, Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyah, t.th, Juz 1

Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan),  Bandung: Al-Fabeta, 2009.


[1] Sekilas mahram dan muhrim terdengar sama di telinga, sehingga sering kali terjadi kekeliruan dalam memahami antara makna “mahram” dengan “muhrim”. Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Kalau muhrim itu artinya orang yang sedang ihram untuk haji dan umrah, sedangkan mahram adalah orang yang haram bagi seseorang untuk dinikahi. Dan kategori mahram itu sendiri ada 2 yaitu; mahram dalam artian “yang haram di nikahi” dan mahram dalam maksud “suami atau istri yang sah yang diikati oleh pernikahan”.

[2] Yang berkenan tentang hukum wanita dengan mahramnya adalah
-          Tidak boleh menikah, Allah Swt menjelaskannya di dalam QS. An-Nisa’: 22-23
-          Boleh menjadi wali pernikahan
-          Tidak boleh safar (berpergian jauh) kecuali dengan mahramnya. Di antara hadis yang menyebutkan bahwa perempuan dilarang safar tanpa seorang mahram yaitu
“Dari Abu Said al-Khudri ia berkata, telah berkata Rasulullah; Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar lebih dari 3 hari kecuali bersama ayah, anak laki-laki, suami, saudara laki-laki atau mahranya yang lain.” (HR. Muslim).
-          Tidak boleh khalwat (berdua-duaan) kecuali bersama mahramnya
-          Tidak boleh menampakkan perhiasannya kecuali kepada mahramnya, itupun perhiasan yang sudah dibatasi dalam artian yang sudah biasa dilihat, bukan bagian yang vital.
-          Tidak boleh berjabat tangan kecuali dengan mahramnya. (HR Bukhari dan Muslim).
[3] Dalam kamus al-Munawwir  kata مَحْرَمٌ  berasal dari kata  حَرَمَ –  يَحْرُمُ –  حَرَمَا -  وَمَحْرَامَا  yang berarti mencegah. Sedangkan مَحْرَمٌ  sendiri berarti yang haram atau terlarang. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Indonesia – Arab (Surabaya: Pustaka Progresif, cet. 14, 1997, hlm. 256-257.

Menurut beberapa pendapat, istilah mahram dapat dilihat sebagai berikut:
a.        Menurut Abdul Barr: Mahram adalah laki-laki yang haram bagi perempuan karena sebab nasab seperti ayah dan saudara laki-laki kandungnya atau sebab pernikahan seperti suami, ayah suami (mertua) dan anak laki-laki suami (anak tiri) atau anak susuan, saudara sesusuan dan karena sebab yang lain.
b.       Menurut Al-Hafidz: Mahram perempuan adalah orang yang diharamkan baginya atas dasar ikatan (pernikahan) kecuali ibu hasil hubungan badan yang syubhat dan wanita yang dilaknat. Lihat Kitab Fathul Barr, jil. 9, hlm. 332.
c.         Menurut Ibnu Qudamah: Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan, seperti bapaknya, anaknya atau saudara laki-lakinya karena sebab nasab atau sepersusuan. Baca Abdul Karim Zaidan, Al Mufashol fii ahkamil mar’ati wa baitil muslim fii syariati islamiyyah jilid 3 hal; 148.
d.       Menurut Ibnu Atsir: Mahram adalah yang diharamkan menikah dengan sanak keluarganya seperti ayah, anak, saudara laki-laki, pamannya atau yang lainnya yang masih memiliki ikatan mahram.
e.       Menurut Muhammad Khasyad: Mahram adalah seorang yang haram menikah atas dasar ikatan karena sebab pernikahan, nasab, persusuan atau sebab yang lain. Lihat Muhammad Khasyad, Fiqhu Nisaa fii Wuduil Madhahibil ‘arba’ah, (Al-Qohirah: Darul Kurub Al-Mu’asiroh, 1994), hlm. 142.
f.         Menurut Saleh al-Fauzan: Maharm adalah semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya atau dari sebab-sebab pernikahan yang lain seperti saudara sepersusuan, ayah ataupun anak tirinya.

Dari menurut pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa, Mahram secara keseluruhan adalah larangan atau pengharaman yang berkaitan dengan hukum misalnya, pernikahan, safar, batasan aurat serta hukum berjabat tangan dll.
[4] Syaikh Muhammad ‘Ali Ash-Shobuny, Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Quran, (Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyah) t.h, Juz  1, hlm. 446-447.
[5] Imam Jalaludin al-Suyuti, Asbaab al-Nuzul (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqofiyah, 1422 H) hlm 74.
[6] Ibid, hlm. 73
[7]  QS Surah Al-Ahzab: 4 dan 40 berbunyi:

مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ۬ مِّن قَلۡبَيۡنِ فِى جَوۡفِهِۦ‌ۚ وَمَا جَعَلَ أَزۡوَٲجَكُمُ ٱلَّـٰٓـِٔى تُظَـٰهِرُونَ مِنۡہُنَّ أُمَّهَـٰتِكُمۡ‌ۚ وَمَا جَعَلَ أَدۡعِيَآءَكُمۡ أَبۡنَآءَكُمۡ‌ۚ ذَٲلِكُمۡ قَوۡلُكُم بِأَفۡوَٲهِكُمۡ‌ۖ وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلۡحَقَّ وَهُوَ يَهۡدِى ٱلسَّبِيلَ (٤)
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (QS. Al-Ahzab: 4)

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ۬ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَـٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّـۧنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمً۬ا (٤٠)
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Ahzab: 40)
[8] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi,  al-Jami’ lil Ahkaami al-Quraan (Kairo:  Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1965), j.5. hlm. 104.
[9] Ibid. : Ada 2 versi penafsiran para Mufassir terhadap ayat:
وَلاَ تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُمْ
Versi pertama, berpendapat yang dimaksud dengan kalimat ini adalah janganlah melakukan akad nikah yang fasid (rusak), seperti yang telah dilakukan oleh ayah-ayahmu. Jadi, مَا dalam ayat ini bermakna akad (yang dapat diterjemahkan kepada sebagaimana), sehingga penggalan ayat tersebut berarti “janganlah kamu menikah sebagaimana akad nikah yang dilakukan oleh ayah-ayahmu.” Versi kedua, berpendapat pula bahwa ayat ini melarang menikahi perempuan yang telah pernah dinikahi oleh ayah. Dengan demikian, menurut versi kedua ini, kata مَا dalam ayat tersebut berarti من  (orang), yang dijelaskan oleh ungkapan berikutnya, yaitu:
 من النساء Lihat lebih lanjut al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkami al-Quran.
[10] Abi Bakar Ahmad bin Ali al-Razi al-Jashash, Ahkam al-Quran (Kairo: Isa al-Bab al-Halabi, tt). J. 10. Hlm. 24.
[11] Sayyid Kutub, Tafsir Fii Zhilalil Quran, (Jakarta: Gema Insani Press)  2001, jilid 2, hlm. 310.
[12] Ibid,
 Mahram Muabbad dibagi menjadi 4 macam diantaranya:
1.       Mahram karena nasab.
2.       Mahram karena rada’ahl (persusuan).
3.       Mahram mushaharah (pernikahan).
Mahram karena Li’an (yaitu haramnya suami-isteri untuk bersatu kembali selamanya setelah kedua saling melakukan Li’an).
[13] Syaikh Muhammad Ali Ash-Shobuny, Op. Cit, hlm. 358.
[14] Ibid.,
Selain disyariatkan bahwa laki-laki tersebut telah menggauli ibunya, syarat lain yang menjadi alasan keharaman menikahi anak tiri adalah anak tiri itu berada dalam didikan, penjagaan atau tanggung jawab seorang ayah tiri. Akan tetapi, jika dia tidak berada dalam tanggung jawab ayah tirinya itu,  maka dia boleh dinikahi oleh ayah tirinya tersebut, itupun jika ibu si anak tiri tersebut meninggal dunia atau cerai dan belum digauli oleh ayah tiri tersebut. Syarat pertama disepakati oleh para Ulama. Sedangkan syarat yang terakhir tidak mereka sepakati.
Jumhur ulama berpendapat bahwa anak titi haram dinikahi, baik berada dala, penjagaan ayah tirinya itu ataupun tidak. Kata التي في حجوركم dalam QS An-Nisa ayat 23 ini tidaklah menunjukkan kepada syarat. Ia hanya menjelaskan kebiasaan yang terjadi. Perbedaan pendapat mereka juga berlaku pada ibu tiri, yang ayahnya belum digauli.
Menurut jumhur ulama, ibu istri haram dinikahi secara mutlak baik anaknya diceraikan sebelum digauli ataupun sudah digauli. Dia haram dinikahi karena semata ‘aqad nikah dengan anaknya. Sedangkan anak tiri haram dinikahi disebabkan karena ibunya telah digauli. Baca lebih lengkap Muhammad Jamaludin al-Qasimi, Mahaasin al-Ta’wil (T.tp: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1957), jilid. V, hlm. 1177-1179.
[15] Sayyid Kutub, Op. Cit,  hlm. 311.
[16] Persusuan: adalah air susu seorang perempuan kepada anak kecil dengan syarat-syarat  tertentu. Lihat kitab al-Mufashol fii ahkamil mar’ati wa baitil muslim fii syari’ati islamiyah jilid 6. hlm. 235.
Sedangkan persusuan yang menjadika seseorang
[17] Ibid.,
Jenis yang pertama dan ketiga dari wanita-wanita mahram ini disebutkan pengharamannya dalam ayat nash di atas.  Adapun selain yang diharamkan dalam surat ini, aturan pelaksanaannya disebutkan dalam hadis Nabi Saw yang artinya:
“Diharamkan karena susuan, apa yang diharamkan karena nasab (HR. Bukhara dan Muslim)

No comments: