Thursday, November 6, 2014

Makalah Pendidikan Nilai

Oleh Herif De Rifhara

Daftar Isi

Daftar Isi...............................            1
Kata Pengantar.......................       2

A. Latar Belakang...........................    3
B. Pembahasan.....................        4

  a. Hakikat Nilai.....................            4
  b. Hakikat Pendidikan........   8
  c. Hakikat & Tujuan Pendidikan 
      Nilai...9

KESIMPULAN  & PENUTUP...........11
DAFTAR KEPUSTAKAAN...... 12


Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah Swt yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam. Mengajarkan manusia dari yang tidak diketahuinya menjadi tahu tentang sesuatu hal dengan kalam tersebut.

     Selawat dan salam ke atas junjungan Nabi besar kita Muhammad Saw yang telah diutus oleh Allah Swt kepada seluruh alam.

Semoga selawat dan salam juga tercurahkan ke atas keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikut beliau, dan juga pengikut-pengikut beliau SAW, yang ada di akhir zaman. 

Adapun selanjutnya dalam penulisan makalah ini membahas tentang Hakikat dan Tujuan Pendidikan Nilai dalam mata kuliah Pendidikan Nilai sebagai dosen pemimbing Prof Dr. Amril Mansur. MA.

                     Penyusun Makalah



                      22 september 2014

 A.             LATAR BELAKANG

Manusia sebagai mahluk yang diberikan potensi oleh Allah SWT yaitu potensi berupa akal dan hati yang bisa dikelola oleh manusia itu sendiri yang tidak dimiliki mahluk lain.

Tentu akal dan hati itu bisa berfungsi apabila manusia melewati suatu proses dan proses itu adalah Pendidikan. Dan selama manusia masih hidup, pendidikan tidak akan berakhir kecuali manusia mati, inilah yang disebut dengan pendidikan sepanjang hayat.

Artinya pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia untuk menjalani kehidupan dunia dalam rangka mempertahankan hidup serta menjalankan kehidupan dengan damai dan baik.

Selama manusia masih hidup, manusia akan terus mengalami yang namanya pendidikan.

Tetapi seringkali seseorang melupakan  makna  hakikat dan tujuan pendidikan itu sendiri, terlebih lagi kalau mengacu  pada nilai yang dihasilkan dari pendidikan atau disebut dengan istilah pendidikan nilai yang lebih cenderung membina sikap afektif seseorang.

Dengan demikian makalah ini akan membahas tentang Hakikat dan Tujuan Pendidikan Nilai.

 B.             PEMBAHASAN

      a. Hakikat Nilai

Prof Dr. Muhmidayeli, M.Ag. Mengatakan bahwaNilai adalah gambaran tentang sesuatu yang indah dan menarik, yang mempesona, yang menakjubkan, yang membuat kita bahagia, senang dan merupakan sesuatu yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang ingin memilikinya.”[1]

Menurut Herminanto dan Winarno “Nilai merupakan sesuatu yang diharapkan (das solen) oleh manusia. Nilai merupakan sesuatu yang baik yang dicitakan manusia. Contohnya, semua manusia mengharapkan keadilan. Keadilan sebagai nilai adalah normatif. Nilai menjadikan manusia terdorong untuk melakukan tindakan agar harapan itu terwujud dalam kehidupannya. Nilai diharapkan manusia sehingga mendorong manusia berbuat. Misalnya, siswa berharap akan kepandaian. Maka siswa melakukan berbagai kegiatan agar pandai. Kegiatan manusia pada dasarnya digerakkan atau didorong oleh nilai.”[2]

Sedangkan menurut Uu Hamidy bahwa “Nilai merupakan perbendaharaan bahasa manusia di mana-mana. Diantara sejumlah perbendaharaan bahasa atau budaya, nilai merupakan simbol yang sulit merumuskannya, meskipun simbol atau teks tersebut paling sering diucapkan. Kesulitan itu terjadi pertama-tama karena nilai selalu diperlukan oleh apa saja, terutama dalam tingkahlaku, perbuatan dan aktivitas manusia. Hampir tak ada tingkah laku manusia yang terlepas dari nilai.”[3] Dari keterangan yang dikemukakan Uu Hamidiy ini menunjukkan bahwa nilai pada dasarnya sesuatu yang abstrak bukanlah nilai dalam bentuk real atau angka-angka dalam aktivitas perkuliahan.

Namun dari penjelasan di atas dapat disimpulkan oleh Dr. Rohmat Mulyana dalam bukunya; Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, beliau mengatakan bahwa nilai dalam bentuk yang abstrak dapat di defenisikan dengan baik apabila “nilai” disatukan dengan istilah-istilah lain yang bisa mengokohkan makna “nilai” tersebut. Sebagai contoh;

Apabila “nilai” dikaitkan dengan “fakta” (nilai dan fakta) maka maknanya adalah memaknai fakta yang sedang terjadi dan nilai akan lahir dari suasana apresiasi (penilaian). Dan penilaian itu lahir dari pengalaman dan pemahaman seseorang. Sehingga nilai memiliki ralativitas sedangkan fakta memiliki obyektivitas. Seperti contoh terjadinya perang AS-Irak, bagi AS perang di Irak harus dilaksanakan sebagai bentuk upaya memperjuangkan demokrasi (nilai) ala bangsanya. Sedangkan bagi orang-orang sipil yang mati karena terkena rudal nyasar dalam perang di Irak, maka bagi mereka orang-orang sipil tersebut adalah nol nilai, begitu juga bagi para cendekiawan-cendekiawan menganggap perang adalah nol nilai karena membunuh kreativitas manusia dalam ilmu pengetahuan.

Apabila “nilai” dikaitkan dengan “tindakan” (nilai dan tindakan) maka maknanya adalah nilai dapat terwujud andaikata nilai itu dilakukan daripada hanya sebagai bentuk ucapan saja, artinya nilai berlaku sebagai tujuan yang melekat dalam tindakan, seperti contoh: seorang petani mencangkul lahan, guru merancang RPP, politisi menghimpun dukungan, pedagang menata dagangannya, ilmuan menulis buku, semua itu merupaka perwujudan dari tindakan yang dialasi oleh nilai-nilai yang berbeda, dengan kata lain nilai yang sesungguhnya hanya dapat lahir kalau diwujudkan dalam praktik tindakan. Artinya nilai sifatnya tersembunyi sedangkan tindakan merupakan bukti faktual yang terlahir dari nilai.

Apabila “nilai” dikaitkan dengan “norma” maka maknanya adalah nilai adalah sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Ketika kebaikan itu menjadi aturan atau menjadi kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur dalam menilai sesuatu, maka itulah yang disebut norma. Nilai dan norma hanya memiliki harga jika diwujudkan dalam perilaku atau tindakan. Jadi norma adalah standar-standar nilai kebajikan yang dibakukan, sedangkan nilai adalah harga yang dituju dari suatu perilaku sopan sesuai dengan aturan yang disepakati.

Apabila “nilai” dikaitkan dengan “moral” ketika kedua kata ini digabungkan menjadi “nilai moral” maka menunjukkan adanya kualitas moral. Moral erat kaitannya dengan tanggung jawab sosial yang teruji secara langsung, sedangkan nilai meski memiliki tanggung jawab sosial namun dapat ditangguhkan untuk sementara waktu. Artinya seseorang memiliki nilai tetapi belum tentu nilai dapat dijalannya karena masih ada penangguhan dalam menjalankan nilai. Sedangkan moral akan dirasakan secara langsung apabila seseorang melanggar moral yang ada dimasyarakat. Seperti contoh seseorang terjerat korupsi, seseorang tersebut bukannya tidak tahu tentang korupsi namun karena tergiur dengan uang maka nilai-nilai moral ia tangguhkan untuk sementara waktu.

Apabila nilai dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis maka memiliki makna, nilai adalah sesuatu yang dipegang orang secara pribadi, dan juga merupakan tuntunan-tuntunan yang terinternalisasi dalam perilaku. Nilai juga merupakan unit kognitif yang digunakan dalam menimbang tingkah laku dengan timbangan baik-buruk, tepat-tidak tepat, dan benar-salah. Nilai berkaitan dengan “apa semestinya” daripada dengan “apa adanya”. Artinya nilai adalah sebuah cita-cita, keyakinan, dan kebutuhan yang diinginkan.

Dan terakhir apabila nilai dikaitkan dengan etika (nilai dan etika). Etika merupakan kajian tentang baik-buruk, sehingga muncul istilah nilai baik-buruk, nilai baik-buruk yang terdapat dalam etika bersumber dari normatif dan preskriptif. Normatif yang bersumber dari buah pikir manusia dalam menata kehidupan sosial. Preskriptif yang berseumber dari wahyu. Begitu juga apabila nilai di gandeng dengan istilah-istilah Ekonomis, Teoritik, Estetik, Sosial, Politik dan Agama.[4]

Dengan demikian dapat disimpulkan penjelasan dari Dr. Rohmat Mulyana diatas bahwa nilai tidak akan berarti apa-apa apabila nilai tidak digandeng dengan istilah lain. Begitu juga nilai dan pendidikan.

Hubungan antara nilai dengan pendidikan sangat erat. Nilai dilibatkan dalam setiap tindakan pendidikan, baik dalam memilih maupun dalam memutuskaan setiap hal untuk kebutuhan belajar. Melalui persepsi nilai, guru dapat mengevaluasi siswa. Demikian pula sebaliknya, siswa dapat mengukur kadar nilai yang disajikan guru dalam proses pembelajaran. Masyarakat juga dapat merujuk sejumlah nilai (benar salah, baik-buruk, indah-tidak indah) ketika seseorang mempertimbangkan kelayakan pendidikan yang dialami oleh anaknya. Singkat kata, dalam segala bentuk persepsi, sikap, keyakinan, dan tindakan manusia dalam pendidikan, nilai selalu disertakan. Bahkan melalui nilai itulah manusia dapat bersikap kritis terhadap dampak-dampak yang ditimbulkan pendidikan. Ketika seorang ibu rumah tangga mengkritik biaya pendidikan yang terlampau mahal padahal dalam penyelengaraannya kurang optimal, atau ketika seseorang pimpinan perusahaan menilai lulusan Perguruan Tinggi tertentu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi pekerjaannya, maka hal itu terkait dengan nilai. Untuk itu, selain diposisikan sebagai muatan pendidikan, nilai dapat juga dijadikan sebagai media kritik bagi setiap orang yang berkepentingan dengan pendidikan (Stake Holders) dalam mengevaluasi proses dan hasil pendidikan.”[5]

Nilai itu tersebar di setiap sudut wilayah pendidikan. Nilai itu mencakup setiap aspek praktik sekolah. Nilai itu merupakan dasar bagi sebuah persoalan pilihan dan pembuatan keputusan. Menggunakan nilai, guru mengevaluasi perjalanan studi program sekolah dan bahkan kompetisi guru. Sebaliknya, masyarakat itu sendiri dievaluasi oleh guru. Ketika kita membuat suatu keputusan tentang praktik pendidikan, ketika kita meramalkan segi-segi kebijakan pendidikan. Oleh karena itu nilai selalu dihubungkan pada penunjukkan kualitas sesuatu benda ataupun  perilaku dalam berbagai realitas. Dan hal ini perwujudan dari watak hakiki manusia yang memang akan senantiasa memuarakan semua aktivitasnya pada hal yang terbaik dan bernilai.[6] Tentu penilaian terbaik tersebut berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda yang diperoleh seseorang.

Artinya nilai berada pada wilayah pikiran manusia dengan pemahaman yang beragam, dan eksistensinya dibutuhkan manusia untuk menjadi standar bagi sebuah perilaku yang diinginkan. Dan perilaku yang diinginkan tersebut akan benar-benar diinginkan apabila ada proses pendidikan dan pendidikan erat kaitannya dengan berubahnya perilaku manusia menuju kesempurnaan.[7]

Dengan demikian dapat dismpulkan bahwa tujuan nilai dalam pendidikan adalah guru dapat mengevaluasi siswa dan siswa dapat mengukur kadar nilai yang disajikan guru dalam proses pembelajaran. Sehingga apa yang diinginkan dapat terwujud dan yang diinginkan itulah yang disebut sebagai nilai baik dalam pandangan ilmu Etika.

b.   Hakikat Pendidikan

Prof Dr. Muhmidayeli, M.Ag., mengatakan bahwa “Ada beberapa istilah yang digunakan untuk makna pendidikan, yaitu tarbiyah yang akar katanya rabba, ta’dib yang akar katanya addaba, dan ta’lim yang akar katanya ‘allama. Kendatipun ketiga istilah ini menunjuk pada orientasi dan pendekatan yang berbeda-beda, namun ungkapannya sering ditemukan di kalangan pemikir Muslim. Kata tarbiyah seperti diungkap oleh Raghib al-Isfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat al-Faazh al-Quran, menyebutkan bahwa istilah ini berkonotasi pada aktivitas manusia mengembangkan dan atau menumbuhkan sesuatu secara berangsur-angsur setahap demi setahap sampai terminal yang sempurna. Istilah ta’dib lebih berkonotasi pada proses pembinaan sikap mental manusia yang erat kaitannya dengan masalah moral dan lebih berorientasi pada pengembangan dan peningkatan martabat manusia. Sedangkan ta’lim diarahkan pada proses pemberian berbagai ilmu pengetahuan, dari tidak dan atau belum mengetahui sesuatu, maka dengan aktivitas ta’lim menjadikan ia pun mengetahuinya”[8] dan [9]

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan melalui penjelasan Dr Helmawati yakni, “Pendidikan adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan potensi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.”[10] Sedangkan  Prof Muzayyin Arifin mengatakan “Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia; aspek rohaniah dan jasmaniah, juga harus berlangsung secara bertahap. 

Oleh karena itu, suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan/pertumbuhan, baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses ke arah tujuan akhir perkembangan /pertumbuhannya.”[11]

Selanjutnya Prof Muzayyin Arifin  menjelaskan bahwa: Tidak ada satupun makhluk yang dapat mencapai kesempurnaan/kematangan hidup tanpa melalui proses dan proses itu adalah pendidikan yaitu mengarahkan anak didik kepada titik optimal kemampuannya. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai manusia individual dan sosial serta hamba Tuhan yang mengadi kepada-Nya.[12]

Muhammad Takdir Ilahi mengatkan “Pendidikan merupakan sarana vital untuk memberdayakan budaya bangsa agar mampu menciptakan generasi muda yang beradab dan berbudaya. Generasi ini akan menjadi pewaris budaya bangsa agar tetap dipelihara dan dilestarikan keutuhannya dalam kehidupan masyarakat sehingga akan terbentuk pribadi manusia yang berjiwa pemimpin masa depan yang dapat memperbaiki kehidupan bangsa secara keseluruhan.[13]

Dengan demikian pendidikan adalah suatu proses yang akan dilalui manusia menuju akhir agar memperoleh sebuah bekal. Dan bekal tersebut dapat dipergunakan dalam mempertahankan hidup dan kehidupan yang beradab serta berbudaya dan juga dapat dipergunakan di alam akhirat nanti agar selamat dari yang telah diancamkan. Dan bekal tersebut adalah kesempurnaan dan kematengan hidup yang telah diarahkan oleh seseorang yang dewasa yang telah menyikapi kehidupan serta perintah dari Allah Swt dengan baik. Sehingga generasi-generai penerus terus bermunculan akibat ulah dari sebuah pendidikan.dan itu bisa juga dikatakan sebagai tujuan dari hakikat pendidikan.

c. Hakikat dan Tujuan Pendidikan 
    Nilai

Dari uraian diatas bahwa sudah bisa diketahui bahwa hakikat dan tujuan pendidikan nilai adalah:

Pertama “secara umum, pendidikan nilai dimaksudkan untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Untuk sampai pada tujuan dimaksud, tindakan-tindakan pendidikan yang mengarah pada prilaku yang baik dan benar perlu diperkenalkan oleh para pendidik.

Kedua dalam proses pendidikan nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Seperti dikemukakan Komite APEID (Asia and the Pasific Programme of Educational Innovation for Development), pendidikan nilai secara khusus ditujukan untuk 
(a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak; 
(b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan; dan 
(c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian tujuan pendidikan nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai.[14]
  
KESIMPULAN DAN PENUTUP

Nilai akan keliatan kegunaannya apabila nilai disandingkan dengan istilah lain. Dan dalam makalah ini tentu  nilai bersandingan dengan istilah pendidikan, sehingga terbentuk pendidikan nilai yang lebih cendrung dalam pembentukan afktif seorang manusia.

Dan tentu usaha dalam membentuk sikap Afektif tersebut tidak terlepas dari peran para guru atau disebut orang dewasa. Sehingga anak didik mempunyai bekal dalam mengarungi kehidupan serta mendapatkan bekal di alam akhirat kelak.

Demikianlah makalah ini mudah-mudahan bermnafat bagi kita semua.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Herminanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012)

Helmawati,  Pendidikan Nasional dan Optimalisasi Majelis Ta’lim Peran Mutu Majelis Ta’lim Meningkatkan Mutu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013)

Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012)

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, 
    (Bandung: Refika Aditama, 2011)

Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan 
      Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012)

Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2011)

UU Hamidy, Nilai Suatu Kajian Awal,
     (Pekanbaru: UIR Press, 1993)




[1] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 101
[2] Herminanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 128
[3] UU Hamidy, Nilai Suatu Kajian Awal, (Pekanbaru: UIR Press, 1993), h. 1.
[4]Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2011)
[5] Rohmat Mulyana, Ibid, h. 97
[6] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 101
[7] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011)
[8] Raghib al-Isfahani dikutip oleh Muhmidayeli
[9] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 65
[10] Helmawati,  Pendidikan Nasional dan Optimalisasi Majelis Ta’lim Peran Mutu Majelis Ta’lim Meningkatkan Mutu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 14
[11] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h12
[12] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h12
[13] Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 29
[14] UNESCO 1994 dikutip oleh Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, h. 120

No comments: