Thursday, November 6, 2014

Makalah Manusia Sebagai Konselor dan Sasaran Konseling Dalam Pendidikan

Makalah Manusia Sebagai Konselor dan Sasaran Konseling Dalam Pendidikan
Oleh: Herif De Rifhara
PENDAHULUAN
Di dalam pendidikan tidak terlepas dari ilmu yang membahas mengenai prilaku manusia, agar proses pendidikan tersebut berjalan lancar. Sejalan dengan itu pula masalah pendidikan ini tidak terlepas dari ilmu bimbingan dan konseling yang membimbing manusia secara khusus untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya. “Bimbingan didefenisikan sebagai suatu proses membantu individu untuk memahami dirinya dan dunianya,” sedangkan “konseling adalah hubungan timbal balik di antara dua orang individu, di mana yang seorang (ialah konselor) berusaha membantu yang lain (ialah klien) untuk mencapai atau mewujudkan pemahaman tentang dirinya sendiri dalam kaitannya dengan masalah atau kesulitan yang diahadapinya pada saat ini dan pada waktu mendatang.” (Dewa Ketut Sukardi, :168-169).




Namun secara umum pendidikan berarti suatu proses transformasi yang dilakukan seseorang atau masyarakat ke generasi berikutnya, serta dilaksanakan secara sengaja, teratur, terstruktur dan dapat diukur atau diketahui hasilnya. A. Muri Yusuf mengatakan “pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan setiap individu, baik sebagai makhluk individual, ethis maupun makhluk sosial. Tiap-tiap individu akan tumbuh dan berkembang; cepat atau lambat dalam lingkungan yang terus berubah ditentukan antara lain oleh kemampuan pendidik dalam memahami tujuan yang akan dicapai.” (A. Muri Yusuf,:dalam kata pengantar). Artinya pendidikan itu diperlukan untuk membimbing manusia yang akan tumbuh dan berkembang agar menjalankan tugas dan panggilan hidupnya secara efektif, dan juga pendidikan tersebut bertugas untuk membangun kualitas manusia seutuhnya. Ini semua tak terlepas dari peran Konselor dan Konseling.
Mengenai konselor dan konseling yang merupakan salah satu proses dalam pendidikan untuk membantu manusia baik secara kelompok ataupun individu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Dalam makalah mata pelajaran Isu-isu Pendidikan Islam ini akan membahas mengenai Manusia Sebagai Konselor dan Sasaran Konseling Dalam Pendidikan, di mana pembahasan ini akan meliputi tentang: 1, Pola-pola kepribadian dan dimensi kemanusiaan. 2, Manusia sebagai khalifah. Dan 3, Manusia sebagai konselor dan sasaran konseling. Dari ketiga-tiga ini, tidak lain diambil dari buku pegangan pokok berjudul Isu-isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Samsul Nizar, MA dan Dr. Muhammad Syaifudin, MA.
PEMBAHASAN
            1. POLA-POLA KEPRIBADIAN DAN DIMENSI KEMANUSIAN
            Al-Qur’an memuat petunjuk mengenai manusia, sifat-sifat dan keadaan psikologisnya yang berkaitan dengan pembentukan gambaran yang benar tentang kepribadian manusia, motivasi utama yang menggerakkan perilaku manusia, serta faktor-faktor yang mendasari keselarasan dan kesempurnaan kepribadian manusia dan terwujudnya kesehatan jiwa manusia. (Muhammad Utsman Najati,: 11).
Namun pengklasifikasian manusia ke dalam pola-pola kepribadian yang menghimpun pribadi-pribadi yang memiliki kesamaan ciri, perlu diupayakan karena membantu menjelaskan dan menafsirkan prilaku-prilaku manusia. Dalam Al-quran, manusia diklasifikasikan berdasarkan keyakinan ke dalam tiga hal sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad Utsman Najati yang di kutip oleh Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, yaitu, Mukmin, Kafir dan Munafik:
a.) Mukmin
Adalah gambaran kepribadian manusia paripurna dalam kehidupan ini. Manusia yang merupakan model bagi masyarakat yang telah dibentuk oleh Rasulullah Saw pada generasi pertama umat ini. Melalui generasi awal inilah Rasulullah mampu mengubah wajah sejarah umat manusia dari bentuk jahiliyah menjadi bentuk non jahiliyah dengan cahaya ketauhidan. Dan karekteristik manusia yang menjadi model kehidupan ini ialah: beriman, beribadah kepada rabbnya secara benar, berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan akhlak mulia dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan dalam menghindari perbuatan terlarang, serta dalam beramal selalu ikhlas, amanah dan sempurna. Dan kesemua itu tidak terlepas dari yang diamanahkan Allah swt di dalam al-quran yang mulia dan hadist/sunnah nabi-Nya.

b.) Kafir
Perihal kepribadian orang yang tidak mengimani ketauhidan Allah Swt, tidak mengimani rasul-rasul, kitab-kitab yang diturunkan, tidak beriman pada hari akhirat, kebangkitan, dan hisab, serta tidak pula mengimani surga dan neraka yang dijanjikan. Bersikap taklid atas tradisi yang biasa dilakukan oleh para leluhurnya, karena mereka bersikap terhadap tradisi jahiliyah yang dilakukan oleh leluhur yang telah sesat dan tak tahu jalan kembali, membuat pribadi-pribadi mereka mengalami kejumudan (stagnasi) berfikir dan tidak mampu menyelami ketauhidan yang diajarkan oleh para utusan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang materialistik dan oportunistik yang sangat mementingkan kenikmatan dan kesenangan dunia semata, sehingga menjadikan mereka orang yang berprilaku hasud, iri hati, tidak senang, serta bersikap sombong dan menertawai kaum mukmin, tersebab hal yang demikian itu, mereka dalam mengarungi kehidupan ini, sarat dengan kedurhakaan, kefasikan, serta tenggelam dalam pemuasan hawa nafsu dan syahwat.

b.) Munafik
Mengenai perihal kepribadian orang munafik, al-quran membicarakannya di dalam surat An-Nisa’:142

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, maka Allah membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa`: 142)

Dan juga secara panjang lebar di surah Al-baqarah pada ayat ke 8 s/d ayat ke 20, dan tidak mungkin akan kami tulis dalam makalah yang ringkas ini. Namun Rasulullah Saw dalam haditsnya menyimpulkan, bahwa kepribadian orang munafik itu ialah:

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah seorang munafiq tulen, dan barangsiapa yang terdapat pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat nifaq hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dia dusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika berseteru dia berbuat kefajiran”. (HR. Al-Bukhari no. 89 dan Muslim no. 58)
Dan dalam hadits yang berbunyi

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأِتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Sesungguhnya salat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah salat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR. Al-Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)

2. MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH
Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, 2010 berkata “Sebelumnya, pembicaraan ini terlebih dahulu harus diawali dengan memahami term-term manusia yang ada di dalam al-quran. Hal ini dianggap penting karena manusia merupakan sosok makhluk multidimensi yang bersifat unik. Lebih lagi tatkala dikaitkan dengan peran manusia sebagai makhluk yang berpotensi untuk menimbulkan masalah dan kemampuannya menyelesaikan masalah. Dalam kegiatan konseling, sosok manusia dipandang sebagai konselor dan sasaran konseling (klien).”
Term-term manusia yang ada di dalam al-quran. Sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Quraishi Shihab, 1998 yang dikutip oleh Nizar dan Muhammad Syaifudin, 2010 : bahwa Al-quran menyebutkan manusia dengan berbagai nama antara lain: Al-Basyar, Al-Insan, An-Nas, Bani Adam, al-ins, Abdullah (hamba Allah), dan Khalifah Allah.

A. Konsep Al-Basyar
            Kata Al-Basyar dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama, lahirlah kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dikatakan basyarah karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang lainnya. Selanjutnya menurut Abdul Mujib dan Muhaimin, 1993 yang dikutip oleh Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, 2010, “manusia dalam konsep basyar, dipandang dari pendekatan biologis. (Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin:172)
            Jadi dapat dipahami bahwa manusia, secara biologis, tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Manusia memiliki dorongan biologis seperti dorongan makanan dan minuman untuk hidup, dan juga memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan proses khidupannya. Dan juga mengalami proses akhirnya secara fisik, yaitu mati seperti makhluk biologis lainya.
           
B. Konsep Al-Insan
            Dari kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandangan Al-Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya yang berarti lupa atau nasa-yanusu yang berarti berguncang. Di dalam Al-Quran, penggunaan kata Al-Insan mengacu kepada potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia seperti untuk tumbuh dan berkembang secara fisik dan juga mental spiritual. Potensi tesebut meliputi potensi untuk mengembangkan diri secara positif yang memberi peluang bagi manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya insaninya, sehingga diharapkan dapat menjadi makhluk ciptaan Allah yang mengabdi kepada pencipatnya. Selain itu, manusia juga memiliki potensi negative yang berpeluang untuk mendorong manusia ke arah tindakan, sikap dan prilaku yang akan menjerumuskan dirinya kepada jurang kehinaan dan penderitaan hidup.
            Terhadap potensi yang negatif tersebut, manusia sebagai makhluk alternatif, diharapkan mampu mengatasinya sehingga dapat mengantarkan dirinya kepada posisi yang terhomat dan mulia.

            C. Konsep An-Nas
            Kata An-Nas terulang sebanyak 24 kali di dalam Al-Quran dan secara umum dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan perempuan, kemudian menjadi suku dan bangsa untuk saling mengenal. Secara fitrah manusia senang berkelompok dimulai dari bentuk yang terkecil yaitu keluarga sampai yang terbesar yaitu bernegara (bangsa) dan umat manusia. Sejalan dengan konteks tersebut, manusia diharapkan mampu menciptakan keharmonisan hidup baik pada ruang lingkup yang paling sederhana yaitu keluarga maupun pada ruang lingkup yang lebih luas yaitu masyarakat. Kemampuan untuk memerankan diri sebagai makhluk sosial, dikaitkan dengan konsep beriman dan beramal saleh.
            D. Konsep Bani Adam
            Muhammad Fuad Abd. Baqi mengatakan seperti dikutip oleh Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin “Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di 7 tempat di dalam al-quran. Manusia sebagai Bani Adam dikaitkan dengan gambaran peran Adam As saat awal diciptakan. Di kala Adam As akan diciptakan, para malaikat seakan mengkhawatirkan kehadiran makhluk ini. Para malaikat takut bumi akan dipenuhi dengan kerusakan dan pertumbahan darah. Kemudian Adam dan Hawa karena kekeliruan akhirnya terjebak oleh hasutan setan hingga keduanya dikeluarkan dari surga sebagai hukuman atas kelalaian yang mereka perbuat. (Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin:174).
            Berdasarkan kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa manusia selaku Bani Adam dipandang sebagai makhluk yang bermasalah dan selalu dalam kekeliruan. Sehingga berpeluang untuk tergoda oleh setan. Oleh karena itu, manusia diharapkan mampu menjaga kemuliaan dirinya dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Konsep ini menitikberatkan kepada upaya pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama manusia yang memiliki latar belakang sosio-kultural, agama, bangsa dan bahasa yang berbeda-beda. Disamping itu, konsep Bani Adam terkait erat dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) yang sarat dengan nilai-nilai humanis yang hakiki dalam ruang lingkup global.

            E. Konsep Al-Ins
            Kata Al-Ins merupakan homonym dari kata al-jins dan an-nufur (Muhammad Fuad Abd  dalam Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin:175). Menurut M. Quraish Shihab seperti yang dikutip oleh Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin “kata al-Insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak.” Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandangan Al-Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya yang berarti lupa atau nasa-yanusu berarti berguncang. Sementara menurut Bintu Syathi’, kata al-ins selalu disebut bersamaan dengan kata jin sebagai lawan katanya. Penyebutan kata al-ins dalam format redaksional seperti itu terdapat pada 18 ayat. Pesan makna yang dapat ditangkap dari kata Al-ins adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang bersifat kongkrit (nyata) yang terikat oleh taklif (tugas keagamaan) yang merupakan amanat dari Allah yang harus dipikulnya. Karena manusia dibekali dengan ilmu yang dapat ditangkap dan dicerna oleh telinga, akal serta hati, sehingga menjadika manusia tersebut mempau berfikir yang buruk dan yang baik.
           
            F. Konsep Abdullah
            Dalam Konsep manusia sebagai Abd Allah yang berarti abdi atau hamba Allah. Menurut M. Quraish Shihab, seluruh makhluk yang memiliki potensi berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah. Kepemilikan Allah terhadap makhluk tersebut merupakan kepemilikan mutlak dan sempurna. Dengan demikian, Abd Allah tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan itu. Dalam konteks manusia sebagai Abd Allah, diharapkan manusia mampu menempatkan diri sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu Allah. Sebagai pernyataan pengahambaan dirinya, manusia harus dapat menempatkan dirinya sebagai pengabdi Allah dengan sungguh-sungguh dan secara ikhlas.
            Keenam istilah di atas identik untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaan dan perbedaan dengan manusia seluruhnya. Sedangkan yang menyangkut unsur immaterial, ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia, yaitu uraian tentang
1.     Fitrah,
2.     Nafs,
3.     Qalb, dan
4.     Ruh

G. Konsep Khalifah
Pernyataan tentang kekhalifahan Adam di muka bumi diterangkan dalam Al-Quran, kata Khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) terulang sebanyak 2 kali, yaitu pada Surat Al-Baqarah ayat 30 dan surat Shad ayat 26. Kata Khalifah berarti di belakang, dan karena itu sering diartikan pengganti (karena yang menggantikan selalu berada dibelakang, atau datang sesudah yang digantikan). (M. Quraish Shihab dalam Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin: 179).
Islam memandang manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan sebagai proyeksi dimensi vertikal ke dalam tataran horizontal. Hal tersebut dikarenakan manusia yang memiliki akal mengetahui realitas dia sendiri dan menjadi salah satu manifestasinya. Ia dapat bangkit melampaui egonya yang bersifat duniawi dan kontigen. Kemampuannya yang berbicara tersebut dia dapat berdialog dengan Tuhan sebagai teman bicaranya. Manusia merupakan cerminan yang di dalamnya terpantul nama dan sifat-sifat Allah yang dihadapan-Nya berdiri tegak dan untuk selama-lamanya. (H.A. Sholeh Dimyati, 1995).
Dengan potensi akal yang dimiliki maka manusia memiliki kedudukan yang mulia di mata Allah ataupun makhluk yang lain. dikarenakan dalam akal tersebut mengandung berbagai macam sumber sangat diperlukan oleh semua makhluk baik manusia atapun makhluk yang lain. Hal ini dikarenakan manusia dengan akalnya merupakan makhluk yang mensejarah untuk menciptakan sejarah, mahluk yang berkebudayaan dan berbudaya dalam menciptakan peradaban serta manusia merupakan sebagai khalifah Allah dimuka bumi yang memiliki tugas melahirkan serta menjaga ketentraman di bumi.
Kata khalifah, para mufassir tidak memberikan makna yang berbeda. Al-Shabuni misalnya seperti yang dikutip oleh Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin; “menafsirkan kata tersebut dengan wakil tuhan (di bumi) untuk melaksanakan berbagai hukum-hukum dan ketentuannya.” Penelusuran lebih lanjut terhadap istilah Khalifah tersebut ditemukan beberapa persamaannya, baik dalam redaksi maupun dalam makna dan konteks uraian. Pertama, kata khalifah berkaitan dengan al-ardh (bumi). Kedua, baik Adam maupun Dawud sama-sama digambarkan pernah tergelincir tetapi diampuni Allah. Ketiga, sebagai orang yang dimuliakan Allah, mereka dibekali dengan ilmu pengetahuan.
Dapat dipahami bahwa dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah, manusia senantiasa dibimbing Allah. Bimbingan itu dapat dilakukan secara langsung seperti bimbingan Allah terhadap para Nabi dan Rasul-Nya, atau secara tidak langsung. Dengan bimbingan yang diberikan Allah, diharapkan manusia tidak akan tersesat dan tidak mengikuti jalan setan delam memecahkan segala persoalan (problem) hidup yang dihadapinya.

3. MANUSIA SEBAGAI KONSELOR DAN SASARAN KONSELING
            Manusia sebagai khalifah, dituntut untuk mampu mengembangkan dimensi-dimensi kemanusiaan yang ada pada dirinya yaitu kepribadian yang matang, kemampuan sosial yang menyejukkan, kesusilaan yang tinggi dan keimanan serta ketakwaan yang mendalam. Tetapi, kenyataan yang sering dijumpai adalah keadaan pribadi yang kurang berkembang dan rapuh, kesosialan yang panas dan sangar, kesusilaan yang rendah, dan keimanan serta ketawaan yang dangkal.
            Berbagai persoalan (problem) tersebut tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Problem tersebut baik dari segi sifat, sikap, prilaku maupun keyakinan kepada agamanya. Pergeseran nilai seperti di atas mengakibatkan hilangnya identitas kepribadian muslim yang sempurna. Pada saat seseorang mengalami probelema dalam kehidupannya, ia pasti membutuhkan orang lain untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi.
            Dalam kaitannya dengan dunia konseling, ungkapan di atas memberikan petunjuk kepada umat manusia agar senantiasa membagi suka dan duka kepada sesama saudaranya, terutama sesama muslim, dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia, sebagai individu dan makhluk sosial, memiliki peran ganda yaitu pada suatu saat berperan sebagai seorang yang memberikan bantuan kepada orang lain (konselor) dan pada saat yang lain berperan sebagai orang yang memerlukan bantuan orang lain (klien) dalam mengatasi berbagai persoalan hidup yang dihadapinya. (M. Utsman Najati dalam Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin: 186).
            Peran sebagai konselor dan klien (sasaran konseling) dapat dipahami dari uraian berikut ini:
            Pertama, Allah berperan sebagai konselor dan para nabi/rasul sebagai kliennya. Kedua, Rasul berperan sebagai konselor dan umatnya sebagai kliennya. Ketiga, orang tua berperan sebagai konselor dan anak-anaknya sebagai kliennya. Keempat, Guru berperan sebagai konselor dan murid sebagai kliennya.

KESIMPULAN DAN PENUTUP
Manusia sebagai Khalifah Allah memiliki potensi untuk menjadi seorang konselor (pemberi bimbingan) dan klien (penerima bimbingan). Hal ini dikarenakan manusia sejak zaman Nabi Adam sampai sekarang dan pada masa yang akan datang, manusia dipandang sebagai makhluk yang senantiasa penuh dengan masalah. Dan oleh karena itu perlu adanya bimbingan.
Manusia senantiasa dihadapkan dengan berbagai permasalahan (problem) kehidupan yang mau tidak mau atau siap tidak siap harus diselesaikan/diberikan solosinya. Maksudnya penyelesaian problem agar manusia dapat meraih kebahagian-kesenangan hidup. Dengan demikian walaupun manusia sebagai Khalifah Allah dengan segudang potensi yang dimiliknya, namun mereka tidak dapat melepaskan diri dari bimbingan dan konseling baik secara langsung yang berasal dari Allah maupun secara tidak langsung dari sesama manusia. Sehingga ia tidak terjerumus dalam hal-hal yang tidak diinginkan, seperti yang dijelaskan di atas mengenai tipe-tipe manusia.
Tujuan bimbingan adalah memberikan pelayanan bimbingan kepada siswa (kalau bimbingan tersebut dikaitkan ke dalam bentuk sebuah pendidikan yang formal) dalam rangka upaya agar siswa dapat menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan. “Bimbingan dan konseling pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, pencegahan terhadap timbulnya masalah yang akan menghambat perkembangannya, dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, baik sekarang maupun masa yang akan datang. Sehubungan dengan target populasi layanan bimbingan dan konseling, layanan ini tidak terbatas pada individu yang bermasalah saja, tetapi meliputi seluruh siswa.” (Nurihsan, 2006: 42). Proses bimbingan guru kepada murid yang terjadi di sekolah, seperti dijelaskan oleh Nurihsan juga bisa dimaknai secara luas (diluar sekolah) yang seperti dijelaskan di paragraph ke 1 dan 2 di atas pada kesimpulan ini.
Demikianlah apa makalah yang kami susun ini semoga bermanfaat. Dan sebagai manusia yang mempunyai sifat pelupa, kami sebagai penulis, meminta kritik dan saran pembaca agar kami terus membenah diri dalam membuat sebuah tulisan, apakah itu kritikan mengenai tulisan yang kurang 1 huruf atau sebuah kutipan dari buku yang kami ambil dan gaya bahasa yang kami tuangkan dalam tulisan ini. Dengan demikian tidak ada perpecahan diantara kita.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Dimyati, H.A. Sholeh  Tinjauan Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan tantang Manusia” Jakarta: Media Tama, 1995

Najati, Muhammad Utsman Psikologi dalam Al-Qur’an: Terapi Qur’ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, terj. M. Zaka al-Farisi, Bandung: Pustaka Setia, 2005

Nurihsan, A. Juntika Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: Refika Aditama, 2006

Sukardi, Dewa Ketut “bimbingan dan konseling” bina aksara, 1988


Yusuf, A. Muri “pengantar ilmu pendidikan” Jakarta: balai aksara, yudhistira dan saadiyah, 1982

No comments: